RIVEW JURNAL FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Judul :
Al-Ghazali: Pemikiran Dan Implementasi Etika Pendidikan Agama
Penulis : A.
Zubaidi
Jurnal :
Cendekia
Hal :
221-238
Abstraksi Jurnal
Dalam kajian ini kata
etika dan moral dirumuskan dalam istilah akhlak. Akhlak dikatakan pula sebagai
ilmu, dikarenakan berisi pengetahuan tentang keutamaan-keutamaan dan cara
memperolehnya. Sedangkan menurut para ahli terdahulu pengertian akhlak adalah
kemampuan jiwa untuk melahirkan suatu perbuatan secara spontan tanpa adanya
pemikiran ataupun paksaan.
Etika (akhlak) adalah
ilmu tentang tingkah laku dan nilai-nilai moral sebagai kaidah untuk mengukur
apakah perbuatan itu baik atau buruk serta menerangkan apa yang seharusnya
dikerjakan dan harus dicapai manusia di dalam perbuatannya. Tarbiyah diartikan
sebagai proses bimbingan terhadap potensi manusia (jasmani, ruh, dan akal)
secara maksimal agar dapat menjadi bekal dalam menghadapi kehidupan dan masa
depan. Abdurrahman al-Bani menyimpulkan bahwa pendidikan terdiri atas empat unsure,
yaitu: pertama, menjaga dan
memelihara fitrah anak menjelang dewasa,
kedua, mengembangkan seluruh potensi, ketiga,
mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan, keempat, dilaksanakan secara bertahap.
Zakiah Darajat mendefinisikan bahwa pendidikan islam diartikan sebagai proses
pembentukan kepribadian muslim.
Menurut saya, disini
saya melihat bahwa etika ataupun akhlak sangat berpengaruh besar terhadap
pendidikan islam, karena pendidikan memiliki tujuan untuk mencapai suatu akhlak
yang sempurna. Akhlak yang baik sangat penting untuk umat manusia, karena
dengan kemuliaan akhlak dan keutamaan jiwa, seseorang akan memperoleh ilmu
pengetahuan yang bermanfaat serta membawanya dalam kebahagiaan dunia maupun
akhirat.
Biografi
Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad
Al-Ghazali,dilahirkan di Thus tahun 450 H/1058 M. pendidikannya di mulai di
Thus kemudian pergi ke Jurjan dilanjutkan pergi ke Naysabur tempat dia menjadi
murid Al-Juwani Imam Al-Haramain dan Abu Ali Al-Farmadhi dari Naisabur.
Kemudian Al-Ghazali pergi ke kampus Nizam Al-Mulk, yang disana dia diterima
dengan kehormatan dan kemuliaan.
Pada 484 H/1091 M, dia
diutus Nizam Al-Mulk untuk menjadi guru besar Nizhamiyah, yang didiriksnnya di
Bagdad, namun pada tahun 488 H/ 1095 M dia menderita penyakit jiwa yang
membuatnya secara fisik tidak dapat lagi melanjutkan kuliahnya, dan kemudian
dia
Pada periode
pengunduran dirinya di Damaskus dan Thus, Al-Ghazali hidup sebagai sufi dan
miskin, dan banyak menghabiskan waktunya untuk meditasi, dan pada masa inilah
Al-Ghazali menulis karya besarnnya tentang etika. Menjelang akhir periode ini
Al-Ghazali telah berkembang jauh sepanjang jalan mistik, dan yakin bahwa itulah
jalan hidup tertinggi bagi manusia.
Al-Ghazali dalam ihya’
Ulum Al-Din menjelaskan pentingnya “Syaikh” (pembimbing moral) sebagai figure
sentral, figure pembimbing moral atau pembimbing rohaniah yang terkait erat
dengan etika mistik Al-Ghazali.
Dasar
Etika Al-Ghazali
Pemikiran Al-Ghazali
tentang etika pada dasarnya dibangun atas dasar mistik (sufistik) dan mengarah
kepada kesejahteraan dunia dan akhirat. Hal tersebut membuat etika Al-Ghazali
murni bercorak religious dan mistik. Menurutnya semua fenomena psikologi
manusia berawal dari diri atau hati, dan hati tersebut akan mengontrol
fungsi-fungsi organic dan fungsi-fungsi fisiknya. Pengetahuannya tentang
entitas ini adalah esensial bagi pengetahuan manusia tentang realitas
tertinggi. Diri memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik melalui kekuatan-kekuatan
penggerak dan panca indra, kekuatan penggerak terdiri dari kecenderungan-kecenderungan
dan dorongan-dorongan. Yang mendorong manusia untuk memperoleh apa yang baik
baginya dan mendorong tubuh untuk menghindari berbagai kondisi yang buruk.
Menurut Al-Ghazali,
nafsu dan amarah berlaku umum pada setiap makhluk binatang, sedangkan manusia
diberikan dua kelebihan dibandingkan binatang lain yaitu rasio dan kehendak.
Enam kekuatan yang ada dalam diri manusia,yaitu, nafsu, amanah, dorongan,
pengertian, intelek dan kehendak.
Akal dan intelek
merupakan kekuatan yang berlawanan dalam diri manusia yang bekerja melalui
sahwat dan amarah untuk membangun dan merusak secara berturut-turut.
Dengan berpegang pada
basis psikologis, Akal-Ghazali memulai bahasanya dengan keutamaan- keutamaan.
Menurutnya terdapat empat keutamaan dasar: kebijaksanaan, keberanian,
kesederhanaan, dan keadilan. Dia menganggap keutamaan dengan pertolongan Tuhan
adalah niscaya dan esensial bagi keutamaan jiwa.
Dengan menerapkan
istilah keutamaan (virtue) kepada pertolongan Tuhan, Al-Ghazali menghubungkan
keutamaan dengan Tuhan, Dia menekankan bahwa tidak ada keutamaan lain yang
dapat di capai tanpa pertolongan Tuhan. Dia bahkan menegaskan bahwa tanpa
pertolongan Tuhan usaha manusia sendiri dalam mencari keutamaan akan sia-sia
dan bahkan akan dapat membawa kearah yang salah.
Menurut al-Ghazali, tujuan
keutamaan mistik mengharuskan pembersihan jiwa dan membebaskannya dari tubuh
sejauh mungkin sehingga jiwa dapat mencurahkan dirinya kepada nafsu yang
tertinggi yaitu tawakal kepada Tuhan.sehubungan dengan konsepsi tersebut,
Al-Gazali memberikan stratifikasi yang jelas. Keutamaan yang pertama kali di
lakukan adalah tobat dan menganggap cinta (mahabbah) sebagai maqom tertinggi
dalam kehidupan ini. Al-Gazali menambah ada enam keutamaan mistik yang lain,
yaitu istiqomah, keikhlasan, kejujuran, kewaspadaan, pemeriksaan diri, dan
meditasi. Karakteristik keenam keutamaan mistik tadi adalah untuk mempersiapkan
jalan dan menyediakan basis psikologis bagi keutamaan-keutamaan yang utama.
Untuk membedakan antara dua kelompok keutamaan ini kita menanamkan keutamaan
yang utama dengan keutamaan-keutamaan yang pokok, dan yang lain dengan
keutamaan-keutamaan pendukung. Keutamaan mistik pokok terdiri dari taubat,
sabar, syukur, pengharapan, takut, kefakiran asketisme kesatuan keutuhan, tawakal
dan cinta. Pendukung keteguhan niat, keikhlasan dan kejujuran,
Tujuan
etika adalah akhlakul karimah imam Ghazali dalam bukunya Ibya Ulumuddin bagian Bidayatul Hidayah memberi petunjuk
tentang pengalaman akhlakul karimah (budi pekerti yang luhur). Ringkasnya,
seseorang yang ingin memiliki akhlak yang mulia, disamping harus memiliki hati
yang suci, juga harus mampu mengendalikan semua anggota tubuhnya.
Konsep
Etika Pendidikan Agama
Etika
Pendidikan Agama
Suatu
sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan
dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan fikiran atau terlebih
dahulu. Akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir
berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu pemikiran dan perbandingan
jika sikap itu darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi
akal maupun syara’, maka ia disebut akhlak yang baik. Lahir darinya perbuatan
tercela, maka sifat tersebut disebut akhlak yang buruk.
Pendidikan
apapun menurut Al-Ghazali harus mengarah kepada pembentukan akhlak yang ,mulia,
dalam mewujudkan akhlak yang baik, antara Akal dan Intelek yang berlawanan
dalam diri manusia yang bekerja melalui syahwat dan amarah, harus memenangkan
akal sebagai nafsu mutmainnah atau jiwa yang tenang.
Menurut
Al-Ghazali ilmu yang paling utama adalah ilmu agama dengan segala cabangnya
karena ia hanya dapat dikuasai melalui akal yang sempurna dan daya tangkap yang
jernih. Akal adalah sifat manusia yang paling utama, karena dengan akal itulah
ilmu Allah bias di cerna dan dihayati manusia. Memahami etika dalam pengajaran
agama, Al-Ghazali juga menolak doktrin metafisika dogmatic spekulatif namun
lebih mendasarkan tentang pembimbing moral sebagai penciptaan tindakan, hal ini
menunjukkan system etika yang dibangun murni bersifat sufistik.
Etika
Tujuan Pendidikan Agama
Etika
dalam pendidikan menurut Al-Ghazali tidak lain di bangun atas dasar sufistik
yang menekankan keselamatan individu di dunia dan di akhirat. Artinya segala
jenis tindakan pengajaran harus mengarah kepada pendekatan diri kepada Allah,
berlabel agama, artinya dalam pengajaran agama para pelaku pendidikan harus
menyadari bahwa pendidikan hanya akan di lakukan apabila mengarahkan manusia
kepada akhlakul karimah sesuai dengan dasar wahyu.
Sesuai
dengan pengertian dan dasar tentang etika dalam pendidikan agama, maka yang
menjadi tujuan dari etika dalam pendidikan agama menurut Al-Ghazali adalah
bagaimana etika atau akhlak yang baik itu sudah tertanam dalm jiwa pelaku
pendidikan khususnya para pengajar demi terciptanya kesempurnaan jasmani yang
bermuara pada pendekatan diri kepada Allah serta kebahagiaan dunia maupun
akhirat.
Pendidikan
menurut Al-Ghazali mempunyai corak yang spesifik, yaitu adanya cap agama dan
etika yang kelihatan nyata pada sasaran-sasaran dan sarananya, dengan tidak
mengabaikan masalah keduniaan, dan pendapat Al-Ghazali tentang pendidikan pada
umumnya sejalan dengan trend-trend agama dan etika. Al-Ghazali juga tidak
melupakan masalah duniawi. Menurutnya dunia adalah kebun dalam mendapatkan
perbekalan untuk kehidupan akhirat yang kekal.
Tujuan
pendidikan yang dirumuskan Al-Ghazali, meliputi;
1. Aspek
keilmuan, yang mengantarkan manusia agar senang berpikir, menggalakkan
penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan, menjadi manusia yang cerdas dan
terampil.
2. Aspek
kerohanian, yang menghantarkan manusia agar berakhlak ulia, berbudi pekerti luhur dan
berkepribadian kuat.
3. Aspek
keTuhanan, yang menghantarkan manusia
beragama agar dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[1]
Disini
saya melihat bahwa suatu pendidikan hendaknya dapat menyiapkan atau membawa
anak agar ketika dewasa nanti mereka mampu melakukan pekerjaan dunia, dan tetap
diimbangi dengan suatu amalan-amalan yang mampu menuntun mereka untuk mencapai
sebuah kebahagian baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Suatu
kebahagiaan di dunia merupakan tujuan sementara yang harus di capai untuk
menuju tujuan yang lebih tinggi, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT,dalam
rangka mencapai kebahagiaan akhirat tersebut.
Etika
Proses Belajar-Mengajar
Prinsip-prinsip
yang berkaitan secara khusus dengan sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru
dalam melaksanakan tugasnya, mendapatkan perhatian khusus dari Al-Ghazali
berdasarkan pada prinsipnya pendidikan adalah kerja yang membutuhkan hubungan
yang erat antara dua pribadi yaitu guru dan murid. Dengan demikian, factor
keteladanan menjadi bagian dari metode pengajaran yang amat penting.
Etika
Guru Dalam Pengajaran Agama
Menurut
Al-Ghazali bahwa guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah guru yang
selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan juga
fisiknya, dengan demikian dapat menjadi contoh bagi muridnya.
Adpun sifat-sifat khusus yang harus dimiliki
oleh guru:
a. Guru
harus memiliki rasa kasih sayang, sifat ini dinilai penting karena dapat mendorong murid untuk menguasai ilmu yang
di ajarkan oleh gurunya.
b. Guru
tidak boleh menuntut upah apapun atas jirih payah mengajarnya itu, karena
mengajarkan ilmu agama adalah kewajiban setiap muslim.
c. Guru
hendaknya berfungsi sebagai pengarah atau pembimbiny yang jujur dan benar
dihadapan muridnya.
d. Guru
hendaknya menggunakan cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan
kekerasan, cacian, makiana, dan sebagainya.
e. Guru
harus menjadi panutan yang baik sebagai teladan bagi murid-muridnya, dalam
hubungan ini guru harus bersikap menghargai keahlian orang lain dan tidak
mencela ilmu-ilmu yang bukan keahliannya sendiri.
f. Guru
menurut Al-Ghazali disamping memahami tingkat kecerdasan muridnya juga harus
pula memahami bakat, tabiat, dan kejiwaan anak sesuai dengan tingkat usianya,
dan memberikan materi yang sesuai dengan taraf kemampuan berfikir yang beraneka
ragam.
g. Guru
yang baik adalah guru yang berpegang teguh pada prinsip yang diucapkannya,
artinya menyelaraskan antara ilmu dan amal.
Tugas
dan kewajiban pendidik menurut Al-Ghazali:
a. Mengikuti
jejak Rasulullah dalam tugas dan kewajibannya.
b. Memberikan
kasih saying terhadap anak didik.
c. Menjadi
teladan bagi anak didik.
d. Menghormati
kode etik guru.[2]
Al-ghazali
mengemukakan syarat-syarat kepribadian seorang pendidik sebagai berikut:
1. Sabar
menerima masalah-masalah yang di tanyakan murid dan harus diterima baik.
2. Senantiasa
bersifat kasih dan tidak pilih kasih.
3. Jika
duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya’ atau pamer.
4. Tidak
takabur, kecuali terhadap seseorang yang dlalim, dengan maksud mencegah dari
tindakannya.
5. Bersikap
tawadlu’ dalam pertemua- pertemuan.
6. Sikap
dan pembicaraannya tidak main-main.
7. Menanam
sikap bersahabat di dalam hatinya terhadap semua murid-muridnya.
8. Menyantuni
serta tidak membentak-bentak orang bodoh.
9. Membimbing
dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya.
10. Berani
berkata: saya tidak tahu, terhadap masalah yang tidak di mengerti.
11. Menampilkan
hujjah yang benar. Apabila ia berada dalam hak yang salah, bersedia ruju’
kepada kebenaran.[3]
Disini
kita dapat melihat bahwa untuk menjadi seorang guru tidaklah mudah, harus mampu
memenuhi berbagai ketentuan yang ada. Dan jika kita melihat guru-guru yang
sekarang, masih ada pula guru yang tidak mampu menjadi sosok teladan bagi
siswanya, hanya mementingkan egonya sendiri, bahkan kurang menghargai akan hak
seorang murid, bahkan Al-Ghazali berpendapat bahwa seorang guru adalah
berurusan langsung dengan hati dan jiwa manusia, dan wujud yang paling mulia di
muka bumi ini adalah jenis manusia. Bagian yang paling mulia dari bagian-bagian
tubuh manusia adalah hatinya, sedangkan
guru adalah bekerja menyempurnakan, membersihkan, menssucikan dan
membawakan hati itu mendekatkan kepada Allah SWT.
Etika
Murid
Di
antara etika dan ideal yang perlu dimiliki oleh peserta didik misalnya:
berkemampuan keras atau pantang menyerah, mamiliki motivasi yang tinggi, sabar,
tabah, tidak mudah putus asa, dan lain sebagainya.
Berkenaan
dengan di atas imam Al-ghazali merumuskan etika-etika yang patut dan harus
dimiliki peserta didik dengan sepuluh macam sifat, yaitu:
1. Seorang
anak didik harus memberikan jiwanya terlebih dahulu dari akhlak yang buruk dan
sifat-sifat tercela.
2. Seorang
pelajar hendaknya tidak banyak melibatkan diri dalam urusan duniawi.
3. Seorang
pelajar jangan menyombongkan diri dengan ilmuyang dimilikinya dan jangan
terlalu banyak memerintah guru.
4. Bagi
pelajar permulaan janganlah melibatkan atau mendalami perbedaan pendapat para
ulama, karena yang demikian itu dapat menimbulkan prasangka buruk, ragu, dan
kurang percaya pada kemampuan guru.
5. Seorang
pelajar jangan berpindah dari satu ilmu yang terpuji dari cabang-cabangnya
sebelum dia mendalaminya.
6. Seorang
pelajar jangan menenggelamkan diri pada suatu ilmu saja melainkan harus
menguasai ilmu pendukung lainnya.
7. Seorang
pelajar jangan melibatkan diri terhadap pokok bahasan tertentu, sebelum
melengkapi pokok bahasan pendukung lainnya.
8. Seorang
pelajar agar mengetahui sebab-sebab yang dapat menimbulkan kemuliaan ilmu.
9. Seorang
pelajar agar dalam mencari imunya didasarkan pada upaya untuk menghias batin
dan mempercantik dangan keutamaan.
10. Seorang
pelajar harus mengatahui hubungan macam-macm ilmu tujuannya.
Menurut
Al-Ghazali metode pendidikan moral agama pada prinsipnya dimulai dengan hafalan
dan pemahaman, kemudian dilanjutkna
dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan
keterangan yang menunjang perbuatan akidah.
Al_Ghazali
menemukan cara untuk mengatasi keraguan terhadap persoalan moral agama
tersebut,yaitu ialah:
a. Adanya
keimanan pada Allah
b. Menerima
dengan jiwa yang jernih dan akidah yang pasti pada usia yang sedini mungkin.
c. Kemudian
mengokohkan dengan argumentasi yang didasarkan atas pengkajiana dan penafsiran
Al-Qur’an dan hadist-hadist secara mendalam, disertai dengan tekun beribadah,
bukan melalui ilmu kalam yang ada pada akal.
Etika
seorang murid menurut saya, ialah ketika sedang mengikuti proses belajar
hendaklah ia memiliki keteguhan akhlak, sehingga menjauhi segala sesuatu yang
tidak patut untuk dilakukan, karena ketika menuntut suatu ilmu pengetahuan ia
harus mencurahkan segala konsentrasinya terhadap pengetahuan yang sedang ia
pelajari, sehingga ketika fikiran serta batinnya di kotori oleh sesuatu yang
tidak bermanfaat, maka ilmu yang sedang ia pelajari tidak akan maksimal.
Seorang murid haruslah memahami benar bahwa dia sedang belajar, serta apa yang
ia ketahui masih jauh dari pengetahuan seorang guru, hendaklah ia menghormati
dan tidak menentang apa yang sedang di ajarkan oleh seorang guru tersebut.
Analisis
Konsep Etika Pendidikan Agama
Al-Ghazali
meletakkan dasar etikanya pada wahyu ( syaikh) sebagai pembimbing moral
sehingga lebih mengarah kepada yang berbau mistik murni. Pandangan Al-Ghazali
tentang tindakan bahwa tindakan yang utama adalah tindakan yang bermula dari
kata hati. Al-Ghazali lebih mendasarkan pada peran petunjuk Tuhan melalui
wahyu.
Sebenarnya
pemikiran Al-Ghazali yang bercorak murni mistik tersebut sebagai usaha
penolakan Al-Ghazali terhadap intervensi rasio dalam merumuskan dasar universal
petunjuk Al-Qur’an dalam kehidupan manusia secara actual. Namun Al-Ghazali juga
memberikan ruang bagi rasio untuk bergerak hanya dengan petunjuk Al-Qur’an itu
sendiri. Sehingga pemikiran etika yang di bangunnya bermuara kepada pendekatan
diri kepada sang pencipta demi kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pemikiran
Al-Ghazali yang bercorak murni mistik tersebut sebagai usaha penolakan
Al-Ghazali terhadap intervensi rasio dalam merumuskan dasar universal petunjuk
Al-Qur’an dalam kehidupan manusia secara actual. Pemikiran etika yang di bangun
bermuara kepada pendekatan diri kepada sang penciptaa demi kebahagiaan dunia
dan akhirat.
Dengan
dasar petunjuk Allah tersebut pemikiran etika pendidikan agama menurut
Al-Ghazali juga didasarkan pada etika religious, menurutnya etika menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan ataupun pengajaran, karena
pendidikan menjadi satu-satunya jalan menuju kesempurnaan hidup manusia.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment