MAWARIS

BAB I
PENDAHULUAN

Allah telah menetapkan aturan main bagi kehidupan manusia di atas dunia ini. Aturan ini dituangkan dalam bentuk tinta atau kehendak Allah tentang perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh manusia. Atusan Allah tentang tingkah laku manusia cara sederhana adalah syariah atau hukum syara’ yang sekarang ini disebut hukum Islam.
Diantara aturan yang mengatur hubungan manusia sesama manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimna cara mendapatkannya.
            Aturan tentang waris tersebut ditetapkan oleh Allah melalui firmanNya yang terdapat dalam Al-Qur’an, terutama surat An-Nisa’:7,8,11,12,dan 176. Pada dasarnya ketentuan Allah yang berkenaan dengan warisan telah jelas maksud, arah, dan tujuannya.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mawaris
Al-miirats, dalam bahasa arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiratsan. Maknanya menurut bahsa ialah “berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain”, atau dari suatu kaum kepada kaum lainnya.
Sedangkan makna almirats menuut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa haak milik legal secara syar’i.[1]
Saling mewarisi di antara kaum Muslimin hukumnya wajib dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Diantara dalil-dalil tentang warisan adalah sebagai berikut:
          لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضً
bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa’: 7).


B.     Pembagian Warisan
Dasar pembagian warisan terdapat dalam QS An-Nisa’: 11.

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Sebelum adanya pembagian harta warisan, terlebih dahulu dari harta peninggalan itu harus diambil hak-hak yang segera dikeluarkan untuk kepentingan-kepentingan berikut:
a.      Tajhiz atau biaya penyelenggaraan jenazah
Para ahli waris berkewajiban mengurusi jenazah sejak saat meninggal hingga dikuburkannya. Seluruh biaya keperluan perawataab jenazah tersebut diambilkan secukupnya dari harta warisan yang ditinggalkannya.
b.      Pelunasan hutang
Apabila mawaris meninggalkan hutang yang belum tarbayarkan, maka ahli waris melunasi hutang tersebut yang diambilkan dari harta warisannya. Utang piutang dibagi menjadi 2, yaitu:
1.      Hutang kepada Allah (dain ilallah), misalnya zakat, ibadah haji, kafarat, nazar, dan lain-lain.
2.      Hutang kepada manusia (dain ila al-‘ibda), baik berupa uang ataupun bentuk hutang lainnya.


c.       Pelaksaan wasiat
Wajib menunaikan seluruh wasiat muwaris selama tidak melebihi 1/3 dari jumlah seluruh harta peninggalan, dan jika ia akan berwasiat lebih dari 1/3 harus mendapat persetujuan ahli warisnya.

C.    Sebab-Sebab Waris- Mewarisi
Sebab-sebab waris- mewarisi dalam ketentuan syari’at Islam adalah karena empat sebab, yaitu:
a.      Nasab.
yaitu kekerabatan. Dilihat dari penerimaanya, hubungan kekerabatan ini dapat di bagi kepada tiga kelompok:
-          Ashabul furudh nasabiyah, yaitu orang-orang yang karena hubungan darah berhak mendapat bagian tertentu.
-          ‘ashabah nasabiyah, yaitu orang-orang yang karena hubungan darah berhak menerima bagian sisa dari ashabul furudh.
-          Dzawil arham, yaitu kerabat yang agak jauh nasabnya. Golongan ini tidak termasuk ahli waris yang mendapat bagian tertentu, tapi mereka mendapat warisan jika ahli waris yang dekat tidak ada.
b.      Pernikahan.
yaitu pernikahan yang sah menurut syari’at Islam menyebabkan adanya saling mewarisi, selam hubungan pernikahan tersebut masih utuh. Jika statusnya sudah cerai maka gugurlah saling waris mewarisi diantara keduanya, kecuali masa iddah pada talak raj’i
c.       Wala’.
yaitu seseorang memerdekaan budak laki-laki atau perempuan, dengan ia memerdekakannya, maka kekerabatan budak tersebut menjadi miliknya. Jadi, jika budak yang ia merdekakan meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi orang yang memerdekakannya, karena rasulullah saw bersabda, “wala’ itu milik orang yang nemerdekakannya” (muttafaq alaih).
d.      Hubungan agama
Jika orang islam meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris, baik karena hubungan kerabat, pernikahan maupun wala’ maka harta peninggalanya diserahkan ke baitul mal untuk kepentingan kaum muslimin. Itulah yang disebut hubungan agama dalam waris mewarisi.

D.    Penggolangan Ahli Waris
Ahli waris dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu:
1.      Ashabul furudh atau dzawil furudh.
Adalah orang yang mempunyai bagian harta peninggalan yang sudah ditentukan oleh al-Qur’an, as-sunnah, dan ijma’. Adapun bagian yang sudah ditentukan adalah 2/3,  ½, ¼, 1/8, 1/3, dan 1/6.  
      Ahli waris yang memiliki furudhul muqaddarah berdasarkan surat An-Nisa’:11, 12, dan 176. Sebagai berikut:[2]
a.      2/3, ahli waris yang mendapatkan adalah:
-          Dua orang anak perempuan atau lebih, apabila tidak ada anak laki-laki.
-          Dua orang cucu perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada ahli waris (anak dan cucu laki-laki)
-          Dua orang saudari sekandung atau lebih apabila tidak ada ahli waris anak, cucu, bapak,, kakek, dan saudara laki-laki sekandung.
-          Dua orang saudari seayah atau lebih, apabila tidak ada ahli waris anak pr kandung, cucu pr dari anak lk, saudari kandung, bapak, kakek, dan saudara seayah.
b.      ½, ahli waris yang mendapatkan adalah:
-          Anak pr tunggal, apabila tidak ada anak lk.
-          Cucu pr tunggal, apabila tidak ada anak pr, cucu lk dari anak lk, dan anak lk.
-          Suami, apabila tidak anak dan cucu.
-          Saudari sekandung, apabila tidak ada anak lk, cucu lk, anak pr lebih dari seorang, cucu pr lebih dari seorang, saudara lk sekandung, bapak, dan kakek.
-          Saudari seayah, apabila tidak ada anak lk, cucu lk, anak pr lebih dari seorang, cucu pr lebih dari seorang, bapak, kakek, saudara lk sekandung, saudara pr sekandung, dan saudara lk sebapak.

c.       ¼, ahli waris yang mendapatkan adalah:
-          Suami, apabila ada ahli waris anak dan cucu.
-          Istri, apbila tidak ada anak dan cucu.
d.      1/8, ahli waris yang mendapatkan adalah:
-          Istri, apabila ada ahli waris anak dan cucu
e.       1/3, ahli waris yang mendapatkan adalah:
-          Ibu, apabila tidak ada ahli waris anak, cucu, dan dua orang saudara atau lebih baik sekandung, seayah, atau seibu.
-          Dua orang saudara seibu atau lebih, apabila tidak ada ahli waris anak, cucu, bapak, dan kakek.
f.        1/6, ahli waris yang mendapatkan adalah:
-          Bapak, apabila ada ahli waris anak dan cucu.
-          Kakek, apabila ada anak dan cucu.
-          Ibu, apabila ada anak, cucu, 2 orang saudara atau lebih.
-          Nenek, apabila tidak ada ibu dan bapak.
-          Saudara seibu, apabila tidak ada anak, cucu, bapak, dan kakek.
-          Cucu pr dari anak lk, apabila ada anak pr kandung.
-          Saudari seayah atau lebih, apabila ada saudara pr sekandung tapi tidak ada anak lk, cucu lk, bapak, saudara lk sekandung, saudara lk seayah.

2.      Ashabah
Secara bahasa adalah pembela, penolong, pelindung, atau kerabat dari jurusan ayah. Menurut istilah faradhiyun adalah ahli waris yang dalam penerimaanya tidak ada ketentuan bagian yang pasti, bisa menerima seluruhnya atau menerima sisa atau tidak mendapatkan samasekali.
Ahli waris ashabah dibedakan menjadi tiga golongan, sebagai berikut:
a.       Ashabah bin nafsih, yaitu ashabah karena dirinya sendiri bukan karena sebab lain. Yang termasuk ashabah bin nafsi adalah semua ahli waris laki-laki kecuali saudara laki-laki se ibu.
b.      Ashabah bil ghairi, yaitu ashabah karena ada hali waris lain yang setingkat dengannya. Yang termasuk ashabah ini adalah:
-          Ahli waris perempuan yang bersamanya ahli waris laki-laki, yaitu anak pr, jika bersamanya anak lk.
-          Cucu pr jika bersamanya cucu lk.
-          Saudara perempuan kandung jika bersamanya saudara laki-laki kandung.
-          Saudara perempuan se bapak jika bersamanya saudara laki-laki se bapak.
c.       Ashabah ma’al ghairi
Adalah ashabah karena ada ahli waris lain yang tidak setingkat. Yang termasuk ashabah ini adalah ahli waris perempuan yang bersamanya ada ahli waris perempuan yang tidak segaris/setingkat, yaitu:
-          Saudara perempuan kandung, jika bersamanya ada ahli waris anak perempuan (satu orang atau lebih) dan cucu perempuan (satu orang atau lebih)
-          Saudara perempuan sebapak, jika bersamanya ada ahli waris anak perempuan (satu orang atau lebih) dan cucu perempuan (satu orang atau lebih).

3.      Dzawil arham
Adalah setiap kerabat yang bukan dzawil furudh dan bukan pula ashabah. Mereka dianggap kerabat yang jauh pertalian nasabnya, yaitu:
a.       Cucu dari anak perempuan
b.      Anak dari cucu perempuan
c.       Kakek pihak ibu
d.      Nenek dari pihak kakek
e.       Anak perempuan dari saudara laki-laki
f.       Anak laki-laki dan saudara laki-laki se ibu
g.      Anak saudara perempuan
h.      Bibi (saudara perempuan dari bapak dan saudara peremp[uan dari kakek)
i.        Paman yang se ibu dengan bapak dan saudara laki-laki yang seibu dengan kakek.
j.        Saudara laki-laki dan saudara perempuan dari ibu
k.      Anak perempuan dari paman
l.        Bibi pihak ibu


E.     Halangan Waris-Mewarisi
Ahli waris gugur haknya untuk mendapatkan warisan karena sebab-sebab di bawah ini:
1.      Hamba sahaya
2.      Pembunuh
3.      Murtad
4.      Berlainan agama

F.     Hijab dan Mahjub
Hijab secara bahasa berarti al-man’u (menghalangi, mencegah). Adapun secara istilah adalah terhalangnya seseorang dari sebagian atau semua harta warisannya karena adanya ahli waris lain.
            Mahjub adalah ahli waris yang ditutup hak pusakanya karena adanya ahli waris yang lebih utama.
            Hijab dibedakan atas dua macam:
1.      Hijab nuqshan, yaitu bergesarnya hak seseorang ahli waris dari bagian yang besar menjadi bagian yang kecil, karena adanya ahli waris lain yang mempengaruhinya. Misal, Istri bissa mendapat ¼ warisan karena ada anak maka dia mendapat 1/8.
2.      Hijab hirman, yaitu tertutupnya hak seorang ahli waris untuk seluruhnya, karena ada ahli waris yang lebih utama daripadanya, seperti saudara dari orang yang meninggal dunia tertutup haknya jika yang meninggal dunia itu meninggalkna anak atau cucu.
Dari seluruh kerabat yang tidak dapat tertutup/hijab haknya (kecuali jika ada penghalang) yaitu suami/istri, anak-anak baik laki-laki/perempuan, ayah dan ibu.[3]
G.    Aul dan Radd.
1.      Aul
Aul adalah bertambahnya saham dzawil furudh dan berkurangnya kadar penerimaan mereka. Atau bertambahnya jumlah bagian yang ditentukan dan berkurangnya bagian masing-masing ahli waris.
      Misalnya, bagian seorang suami yang semestinya mendapat ½ dapat berubah menjadi 1/3 dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok masalahnya dinaikkan semula 1/6 menjadi 1/9 maka dalam hal ini seorang suami semestinya mendapat 3/6 hanya memperoleh 1/3 begitu pula halnya dengan ashabul furudz lain, bagian mereka dapat berkurang manakal pokok masalah naik atau bertambah.[4]
2.      Radd
Radd adalah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya jumlah bagian ashabul furudz. Radd merupakan kebalikan dari aul.
Misal dalam suatu keadaan para ashabul furudz telah menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa. Sementara itu tidak ada kerabat lain sebagai ashabah, maka sisa harta waris itu diberikan lagi kepada para ashabul furudz sesuai bagian mereka masing-masing.[5]

H.    Kompilasi Problematika Hukum Waris Islam
1.      Kewarisan anak dalam kandungan (hamlu)
Syarat bagi anak yang masih dalam kandungan untuk dapat memperolah harta peninggalan:
-         Janin dalam kandungan harus sudah positif keberadaannya dalam perut ibu pada waktu pewaris meninggal dunia.
-         Pada saat lahir harus dalam keadaan hidup.
2.      Khunsa (pewarisan waria)
Para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum warisan bagi Khunsa musykil (tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan karena tidak munculnya tanda-tanda),. Berkata Abu Hanifah “sesungguhnya dia diberi bagian sebagaimana bagaian laki-laki, kemudian diberi bagian sebagaimana bagian perempuan. Oleh kaarena itu, dia harus diperlakukan dengan cara yang terbaik dari dua keadaan itu sehingga seandainya ia mewarisi menurut suatu keadaan dan tidak mewarisi menurut keadaan lain maka dia tidak diberi sesuatu. Seandainya dia mewarisi menurut dua keadaan dan bagianny berbeda maka dia dineri yang minimal dari kedua bagian itu.
Menurut Imam Malik, Abu Yusuf, dan golongan Syiah Imamiyyah, berkata “dia mengambil pertengahan antara bagian laki-laki dan bagian perempuan”[6]
BAB III
PENUTUP

Dari penjelasan menenai bab warisan di bab sebelumnya, kita dapat mengambil hikmah pembagian warisan, yaitu:
-          Menghindarkan terjadinya persengketaan dalam keluarga karena maslah pembagian harta warisan.
-          Menghindari timbulnya fitnah. Karena salah satu menyebab timbulnya fitnah adlah pembagian harta warisan yang tidak benar.
-          Dapat mewujudkan keadilan dalam keluarga, yang kemudian berdampak positif  bagi keadilan dalam masyarakat.
-          Memperhatikan orang-orang yang terkena musibah karena ditinggalkan oleh anggota keluarganya.
-          Menjunjung tinggi hukum Allah SWT dan sunnah Rosulullah saw.

Daftar pustaka

Ash-shabuni, Muhammad Ali. Pembagian Warisan Menurut Islam, penerjemah A.M Basalamah, 1995,  Jakarta: Gema Insani Press.
MGMP Fiqh Surakarta, Lembar kerja siswa Fiqh
Muhibbid Moh, Wahid Abdul, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharu Hukum Positif di Indonesia, 2009, Jakarta: Sinar Grafika.


[1] Muhammad Ali Ash-shabuni, pembagian waris menurut Islam, hlm.33.
[2] Muh muhibbin & abdul wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif Di Indonesia, hlm. 85-86.
[3] Ibid, hlm. 80-81.
[4] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, hlm. 97-98.
[5] Ibid, hlm. 105.
[6] Muh muhibbin & abdul wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif Di Indonesia, hlm. 136.

No comments:

Post a Comment