wakaf
BAB I
PENDAHULUAN
Operasional wakaf telah ada sejak zaman dulu baik pada masa Islam maupun
sebelumnya (dalam bentuk yang mirip). Dalam masyarakat Islam, wakaf adalah
salah satu bentuk takaful, karena diantara keistimewaan masyarakatnya
adalah mengutamakan ukhuwah (persaudaraan), musawah (persamaan)
dan itsar (mengutamakan orang lain). Oleh karena itu sifat
individualisme (ananiyah) tidak dikenal dalam agama Islam. Hal ini dapat
dilihat pada masa awal perkembangan Islam. Dalam sejarah tercatat banyak para
sahabat yang berduyun-duyun untuk mewakafkan hartanya. Seperti yang dikatakan
oleh Jabir bahwa tidak ada sahabat Rasul yang mempunyai kemampuan maliyah kecuali
mereka yang telah melaksanakan wakaf.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Wakaf dan Dasar Hukumnya
Wakaf berasal dari kata Arab, waqf (وقف). Al-waqf terambil dari kata
waqafa-yaqifu-waqfan-wa wuqufan, secara harfiah berarti : berhenti (lawan kata
istamarra yang artinya berlanjut) atau berdiri (qama). Al-waqfu
juga lazim diartikan dengan al-habsu, artinya menahan.
Perkataan
waqf menjadi wakaf dalam bahasa
Indonesia berasal dari kata kerja bahasa Arab berarti “berdiri, berhenti” kata
wakaf sering disebut juga dengan habs. Dengan demikian, kata wakaf itu dapat
berarti
berhenti, menghentikan dan dapat pula berarti menahan. Pengertian menahan
dihubungkan dengan harta kekayaan, itulah yang dimaksud wakaf dalam bahasa ini.
Menurut
Istilah Syara’, wakaf berarti
menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang nazhir
(penjaga wakaf) atau kepada suatu badan pengelola, dengan ketentuan bahwa hasil
atau manfaatnya digunakan kepada hal-hal yang sesuai dengan ajaran syari’at
Islam. Dalam hal tersebut, benda yang diwakafkan bukan lagi hak milik yang
mewakafkan, dan bukan pula hak milik tempat menyerahkan, tetapi ia menjadi hak
milik Allah (Hak Umum).
Wakaf
menurut Jumhur Ulama’ ialah suatu harta
yang mungkin dimanfaatkan selagi barangnya utuh. Dengan putusnya hak pengguna
dari waqif, untuk kebajikan yang
semata-mata demi mendekatkan diri kepada Allah. Harta wakaf atau hasilnya,
dibelanjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan diwakafkanya harta
itu, maka harta keluar dari pemilikan waqif.
Dan jadilah harta wakaf tersebut secara hokum milik Allah. Bagi waqif, terhalang untuk memanfaatkanya
dan wajib mendermakan hasilnya sesuai tujuan.
Pengertian
di atas tidak berbeda dengan as-Sayyid Sabiq yang berpendapat bahwa secara
bahasa wakaf berasal dari kata waqafa
adalah sama dengan habasa. Jadi al-waqf
sama dengan al-habs yang artinya
menahan. Sedangkan menurut ash-shan’ani, wakaf adalah menahan harta yang dapat
diambil manfaatnya tampa menghabiskan atau merusakkan bendanya (‘ainnya) dan
digunakan untuk kebaikan.
Dalam
pasal 1 butir 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, bahwa
wakaf adalah perbuatan hokum waqif untuk memisahkan dan atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau
kesejahteraan umum menurut syari’ah.
Dari
pengertian diatas terlihat bahwa dalam fiqih Islam, wakaf sebenarnya dapat
meliputi berbagai benda. Walaupun berbagai riwayat yang menceritakan masalah
wakaf ini adalah mengenahi tanah, tapi berbagai ulama memahami bahwa wakaf non
tanah pun boleh saja asal bendanya tidak langsung musnah atau habis ketika
diambil manfaatnya.
Adapun
dasar Yuridis, wakaf dapat dilihat dalam Al-Qur’an, di antaranya dalam surat
Ali Imron Ayat 92 :
لَنْ تَنَالُوا
الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ
فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيم
Artinya
:“Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya
Allah mengetahuinya”.
Aspek pendalilannya adalah
Kebaikan akan tergapai dengan wakaf. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Abu
Thalhah, ketika beliau mendengar ayat tersebut, beliau bergegas untuk
mewakafkan sebagian harta yang ia cintai, yaitu Beirha, sebuah kebun yang
terkenal. Maka, ayat tersebut menjadi dalil atas disyariatkannya wakaf.
عَنْ اَنَسٍ, اَنَّ اَبَا طَلْحَةَ
قَالَ : يَا رَسُوْلَ اللَهَ, ِانَّ اللهَ يَقُوْلُ (لَنْ تَنَالُوْا البِرَّ حَتَّى
تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ) وَاِنَّ اَحَبَّ اَمْوَالِى اِلَىَّ بَيْرَحَاءُ,
وَاِنَّهَا صَدَقَه لِلهِ اَرْجُوْ بِرَّهَا وَذُخْرُهَا عِنْدَ اللهِ, فَضَعْهَا
يَا رَسُوْلَ اللهِ حَيْثُ اَرَاكَ اللهُ, فَعَلَ : بَخٍ, بَخٍ, ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ
مَرَّتَيْنِ, وَقَدْ سَمِعْتُ, اُرَى اَنْ تَجْعَلَهَا فِى اْلاَقْرَبِيْنَ, فَقَاَل
اَبُوْ طَلْحَةَ : اَفْعَلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ, فَقَسَمَهَا اَبُوْ طَلْحَة فِى اَقَارِبِهِ
وَبَنِى عَمِّهِ. (متفق عليه)
Artinya : Dari Anas, bahwa Abu
Thalhah berkata, “Wahai Rasulullah, Allah berfirman lan tanalul-birra tunfiqu
mimma tuhibbun, yang artinya, tidak termasuk orang yang baik sehingga membelanjakan
harta bendanya yang dicintainya, dan hartaku yang paling kucintai ialah tanah
di Bairuha, dan sesungguhnya ia kami jadikan sedekah yang aku harapkan
kebaikannya dan simpanan pahala di sisi Allah, maka tolong letakkanlah ya
Rasulullah sekiranya diperlihatkan untuk kau jadikan tanah itu pada keluarga.
“Abu Thalhah berkata, “Aku kerjakan ya Rasulullah, “Maka Abu Thalhah
membagi-bagikannya kepada kerabat-kerabatnya dan kepada anak-anak pamannya”.
(Hadist Riwayat Muttafaq ‘alaih dari Anas)[1]
Adapun al-Hadits yang menjadi
dalil atau dasar hukum bagi pensyariatan wakaf ialah perilaku Nabi sendiri (sunnah
fi’liyah). Terdapat berita yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW, pernah
mewakafkan dan menyedekahkan tujuh petak kebun yang terletak di Madinah
al-munawwarah sepulang beliau dari peperangan Uhud[2]
dalam mana hasil dari ketujuh petak kebun itu diperuntukkan bagi kaum fuqara,
orang-orang miskin, ibnu-sabil dan keluarga dekat lainnya[3].
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ (اِذَا مَاتَ ابْنُ ادَمَ انْقَطَعَ
عَنْهُ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ, اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ
بِهِ, اَوْوَلَدٍ صَا لِحٍ يَدْعُوْ لَهُ). رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Artinya : “Dari Abi Hurairah
r.a, bahwasannya Rasul Allah SAW, bersabda : “Apabila anak keturunan Adam
meninggal dunia, maka akan terputuslah amal daripadanya, kecuali (yang tidak
terputus adalah) dari ketiga amal berikut : (1)sedekah jariyah, (2)ilmu
pengrtahuan yang dimanfaatkan orang lain, (3)anak sholeh yang mendoakan anak
Adam itu (hadist riwayat Muslim[4]).
Hadits di atas menunjukkan
(menjadi dalil) bahwa pahala dari amal perbuatan seseorang akan menjadi
terputus begitu dia meninggal dunia, kecuali ketiga macam amal yang disebutkan
dalam hadits di atas. Ketiga macam amaliah di atas (amal jariah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak sholeh), akan tetapi mengalir pahalanya meskipun orangnya
sudah meninggal dunia jauh-jauh hari. Alasannya, seperti dikemukakan Al-Kahlani,
mengingat ketiga hal di atas merupakan bagian tidak terpisahkan dari kasab
(amal usaha) orang yang bersangkutan. Ketika mensyarah kata-kata shadaqatin
jariyatin dalam hadist di atas, umumnya para ulama menafsirkannya dengan
wakaf. Bahkan itulah pula sebabnya kata Al-Kahlani mengapa Al-Imam Muslim
mencantumkan hadist di atas di dalam bab al-waq[5].
B. Rukun (unsur) Wakaf
Adapun unsur rukun
wakaf di bagi menjadi 5 macam, yaitu :
1.
Wakif (Orang yang mewakafkan)
Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Syarat
wakif adalah sehat
akalnya, dalam keadaan sadar, tidak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa, telah mencapai umur baligh, dan beragama Islam. Anak kecil, orang yang kurang sehat
akalnya apalagi gila dan orang kafir (nonmuslim)
tidak sah melakukan perbuatan hukum wakaf. Wakif adalah
pemilik sempurna harta yang diwakafkan. Karena itu tanah wakaf, hanya bisa
dilakukan jika tanah itu milik sempurna si wakif. Wakif meliputi :
a. Perseorangan,
b. Secara kolektif
(gotong-royong),
c. Organisasi,
d. Badan
hukum.
2. Mauquf
atau harta benda
yang diwakafkan
Yang dimaksud dengan harta benda wakaf atau al-mawquf ialah
harta benda yang diwakafkan oleh si wakif kepada Nazhir, dalam kaitan ini
adalah harta benda yang selain bermanfaat juga memiliki daya tahan yang lama
dan atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut ketentuan
syariah. Atas dasar ini maka harta benda yang tidak bermanfaat (sperti barang
yang telah rusak), tidak tahan lama (seperti makanan dan atau bahan makanan),
serta barang yang tidak memiliki nilai ekonomis (seperti patung dan
barang-barang lain yang serupa dengannya) tidak boleh di wakafkan.
Syarat-syarat
harta benda yang diwakafkan yang harus dipenuhi sebagai berikut :
a.
Benda wakaf
dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak sekali pakai.
b.
Benda wakaf
dapat berupa milik kelompok atau badan hukum.
c.
Hak milik waqif
yang jelas batas-batas kepemilikannya.
d.
Benda wakaf itu
dapat dimiliki dan dipindahkan kepemilikannya.
e.
Benda wakaf
dapat dialihkan hanya jika jelas-jelas untuk maslahat yang lebih besar.
f.
Benda wakaf
tidak dapat diperjual-belikan,
dihibahkan atau diwariskan.
3. Mawquf alaih (Tujuan Wakaf)
Untuk
menghindari
penyalahgunaan wakaf, maka waqif perlu menegaskan tujuan wakafnya. Apakah harta
yang diwakafkan itu untuk menolong keluarganya sendiri sebagai wakaf keluarga
(waqf ahly) atau untuk fakir miskin, dan lain-lain atau untuk kepentingan Umum
(waqf Khairy). Yang jelas tujuannya adalah untuk kebaikan, mencari keridhaan
Allah dan mendekatkan diri kepada Allah. Kegunaan wakaf bisa untuk sarana
ibadah murni, bisa juga untuk sarana sosial
keagamaan lainnya
yang lebih besar manfaatnya.
4. Sighat
(Ikrar atau Pernyataan Wakaf)
Ikrar wakaf adalah
pernyataan kehendak waqif yang diucapkan secara lisan dan atau tulisan kepada
Nazir untuk mewakafkan harta benda miliknya. Pernyataan ikrar wakaf ini harus
dinyatakan secara tegas baik lisan maupun tertulis, dengan redaksi waqaftu (aku wakafkan) atau habbastu (aku
menahan)
atau kalimat yang semakna lainnya.
Sedangkan Ikrar wakaf
diatur dalam UU No 41 tahun 2004 pasal 21 :
(1) Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf. (2) akta ikrar wakaf
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat :
a. Nama
dan Identitas Wakif,
b. Nama
dan identitas Nazhir,
c. Data
dan keterangan harta benda wakaf,
d. Peruntukan
harta benda wakaf,
e. Jangka
waktu wakaf.
5. Nazhir (Pengelola) Wakaf
Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari
wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Sama halnya
dengan wakif, orang yang dipandang sah menjadi nazhir adalah oarng dewasa,
berakal sehat (aqil baliq) dan beragama Islam. Anak kecil, orang gila, dan
orang kafir tidak sah menjadi nazhir. Mengingat nazhir adalah pemegang harta
wakaf yang pada dasarnya harus dikelola secara baik demi kepentingan umat dan
masyarakat banyak, maka seorang atau beberapa orang nazhir haruslah pula yang
jujur atau amanah (dapat dipercaya).
Nazhir meskipun dibahas di dalam kitab-kitab fiqh, namun
tidak ada yang menempatkannya sebagai rukun wakaf. Boleh jadi karena wakaf
adalah tindakan tabarru’, sehingga prinsip “tangan kanan memberi, tangan kiri
tidak perlu mengetahui” sering diposisikan sebagai dasar untuk merahasiakan
tindakan wakaf. Padahal sebenarnya tertib administrasi
tidak selalu identik dengan memamerkan wakaf yang dilakukannya. Bahkan mempublikasikan tindakan sedekah
termasuk di dalam wakaf adalah baik-baik saja, meskipun menyembunyikannya itu
lebih baik.
Firman
Allah dalam surat al-Baqarah, ayat 271 :
إِنْ
تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا
الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ
وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya :“Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir
adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain
panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu)
mereka tidak mengerti”.
Pada masa Umar ibn
al-Khaththab ra mewakafkan tanahnya, beliau sendiri yang menjadi nazhirnya. Sepeninggalannya, pengelola wakaf diserahkan kepada
putrinya Hafsah, dan setelah itu ditangani Abdullah Ibn Umar, kemudian
keluarganya yang lain.
Kewajiban
Nazhir antara lain mengurusi dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya,
membuat administrasi pembukuan wakaf, catatan pengelolaan wakaf. Nazhir berhak
menerima imbalan dan fasilitas dari hasil dari wakaf dengan wajar yang
ditetapkan oleh Kantor Departement Agama setempat.
C.
Syarat Wakaf
Di bagi menjadi 2 macam, yaitu :
1.
Jangka Waktu Wakaf
Yang dimaksud
dengan jangka waktu wakaf ialah bahwa harta benda wakaf yang diserahkan itu dimaksudkan untuk jangka
waktu yang panjang dan atau bahkan untuk selama-lamanya, bukan untuk waktu
sesaat. Unsur jangka waktu ini sangat terkait erat dengan unsur harta benda
wakaf (al-mawquf) yang diharuskan tahan lama.
2.
Peruntukan Harta Benda Wakaf
Yang dimaksud adalah peruntukan dari
pemanfaatan atau penggunaan harta wakaf sesuai dengan kehendak si wakif dan
pada dasarnya harus diindahkan oleh Nazhir, misalnya harta benda wakaf itu
peruntukannya adalah untuk mushalla atau masjid, sekolah atau madrasah, balai
pengobatan atau rumah sakit dan lain sebagainya sesuai dengan kehendak wakif
ketika melakukan ikrar wakaf.
D. Macam-Macam Fakaf
Wakaf
telah dilaksanakan oleh umat Islam dari priode awal, di masa Rasululloh.
Rosululloh menganjurkan agar para sahabat yang punya harta mewakafkan sebagian
hartanya di jalan Allah. Hampir semua sahabat yang mempunyai harta kekayaan
telah mewakafkan sebagian hartanya kejalan Allah.
Dengan
demikian bila ditinjau dari segi
tujuannya, ditujukan kepada siapa wakaf itu, maka makaf dapat
dibagi menjadi 2 macam :
1.
Wakaf Ahli atau dzurry (kekerabatan) : wakaf yang
ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik keluarga si
waqif atau bukan. Waqif seperti ini juga di sebut wakaf dzurry.
2.
Wakaf Khoiry (sosial) : wakaf yang secara tegas untuk
kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan. Seperti wakaf yang
diserahkan untuk keperluan pembangunan Masjid, sekolahan, jembatan, rumah sakit,
panti asuhan, anak yatim dan lain sebagainya
Wakaf
khoiry adalah wakaf yang lebih banyak
manfaatnya dari pada wakaf ahli, karena tidak terbatas pada satu orang atau kelompok tertentu saja, tetapi
manfaatnya untuk umum, dan inilah yang paling sesuai dengan tujuan perwakafan.
Dalam wakaf khairi si waqif dapat juga mengambil manfaat dari harta yang
diwakafkannya.
Dari segi waktu, wakaf bisa dibagi menjadi : muabbad (selamanya) dan
mu’aqqot (dalam jangka waktu tertentu).
Dari segi penggunaan harta yang diwakafkan, wakaf bisa di bagi menjadi : mubasyir atau dzati
(harta wakaf yang menghasilkan pelayanan masyarakat dan bisa digunakan secara
langsung seperti madrasah dan rumah sakit) dan istitsmary (harta wakaf
yang ditujukan untuk penanaman modal dalam produksi barang-barang dan pelayanan
yang dibolehkan syara’ dalam bentuk apapun kemudian hasilnya diwakafkan sesuai
keinginan waqif).
E. Manfaat Wakaf
1. Harta
benda yang diwakafkan dapat tetap terpelihara dan terjamin kelangsungannya.
Tidak perlu khawatir barangnya hilang atau pindah tangan, karena barang wakaf
tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan.
2. Wakaf
merupakan salah satu sumber dana yang penting yang besar sekali manfaatnya bagi
kepentingan agama dan umat. Antara lain untuk pembinaan kehidupan beragama dan
peningkatan kesejahteraan umat islam, terutama bagi orang-orang yang tidak
mampu, cacat mental atau fisik, orang-orang yang sudah
lanjut usia dan sebagainya yang sangat memerlukan bantuan dari sumber dana
seperti wakaf.
3.
Adapun manfaat wakaf bagi kepentingan orang banyak dan
atau kepentingan umum ialah bahwa
melelui sarana-sarana publik yang dibangun dengan harta benda wakaf, masyarakat
akan memperoleh manfaat yang tidak ternilai harganya. Misalnya, umat Islam bisa
malaksanakan sholat berjamaah di masjid, menyekolahkan anak-anaknya di berbagai
madrasah atau sekolah, bisa berobat di rumah-rumah sakit yang dibangun dengan
menggunakan harta benda wakaf dan lain sebagainya.
F. Tata Cara
Mewakafkan[6]
Calon wakif datang dimuka PPAIW
(Pejabat Pendaftar Akte Ikrar Wakaf) untuk melaksanakan ikrar wakaf. Ikrar
wakaf dibacakan kepada nadzir dihadapan PPAIW yang berwenang.
Sebelum
mengikrarkan calon wakif terlebih dahuli menyerahkan kepada PPAIW surat-surat
sebagai berikut :
1.
Sertifikat tanah milik.
2.
Surat keterangan kepala desa, diperkuat camat setempat
mengenai kebenaran kepemilikan tanah dan tidak dalam sengketa.
3.
Surat keterangan pendaftaran tanah.
4.
Izin Bupati atau Walikotamadya.
PPAIW meneliti surat dan syarat tersebut, apakah sudah memenuhi untuk
pelepasan hak atas tanah (yang akan diwakafkan), meneliti saksi dan
mengesahkan.
Dihadapan PPAIW ada dua orang saksi, wakif mengucapkan ikrar kepada nadzir
yang telah disahkan, diucapkan dengan jelas,tegas dan dituangkan dalam bentuk
tertulis (ikrar wakaf bentuk formulir W.1). Semua orang yang hadir
menandatangani ikrar (wakif, nadzir, saksi dan PPAIW) dibubuhi materai pada
sisi wakif.
PPAIW segara membuat akta ikrar (formulir.W.2) rangkap 3dan salinan akta
ikrar wakaf (formulirW.2a) rangkap 4. Selanjutnya selambat-lambatnya satu bulan
sejak dibuat akta tersebut, masing-masing lembar dikirim kepada pejabat sebagai
berikut :
1)
Akta (W.2) lembar 1 disimpan di PPAIW.
2)
Akta (w.2) lembar 2 sebagai lampiran surat permohonan pendaftaran
tanah wakaf ke Agraria dengan bentuk formilir W.7.
3)
Akta (W.3) lembar 3 dikirim ke Pengadilan Agama setempat.
4)
Salinan akta (w.2a) lembar 1 untuk wakif.
5)
Salinan akta lembar 2 untuk nazhir.
6)
Salinan akta lembar 3 kantor Depag.
7)
Salinan akta lembar 4 untuk kepala Desa setempat.
8)
Disamping dibuat akta, PPAIW membubuhkan dalam daftar
akta ikrar wakaf dan menyimpannya bersama akta dengan baik.
G.
Institusi yang mirip dengan Wakaf[7]
Di Indonesia terdapat beberapa pranata yang hampir sama
dengan pranata perwakafan dalam Islam. (Atmaja 1992 : 1) antara lain
mengemukakan vrome stichtingen yang tidak mempunyai karakter seperti wakaf
menurut Islam, seperti tanah yang dinamakan huma serang di Banten Selatan
(Cibeo) denah pauman di Lombok, tanah di Jambaran (Bali), yang ketiganya adlah
tanah untuk keperluan keagamaan.
Di daerah kekuasaan raja di Jawa yang disebut votsen
landen juga terdapat tanah yang seperti tanah wakaf (Atmaja 1992 : 87) yang
disebut perdikan. Tanah perdikan terdiri
dari empat, yaitu :
1.
Desa pesantren.
Tanah yang diberikan kepada seorang kyai untuk tempat
memberikan pelajaran agama Islam kepada para santri.
2.
Desa mijen.
Dari kata biji artinya benih, ialah tanah yang diberikan
kepada seorang untuk menanam benih (buah-buahan atau sayuran) untuk keperluan
raja.
3.
Desa Keputihan.
Dari kata putih, ialah tanah yang diberikan kepada orang
sakti.
4.
Desa pakuncen.
Dari kata kunci, ialah tanah yang diberikan kepada juru
kunci pemakaman keluarga raja.
Empat macam tanah tersebut dipinjamkan atau dikuasakan pengelolaannya
kepada seseorang serta familinya dan dibebaskan dari pajak akhirnya menjadi
semacam tanah wakaf.
Ada institusi lain yang mirip dengan institusi perwakafan
telah ada sebelum Islam datang, walaupun tidak memakai istilah wakaf tetapi
pada hakekatnya termasuk wakaf, seperti adanya tiga masjid ialah masjid
Al-Haram di Mekkah, masjid Nabawi di Madinah, dan Masjid Al-Aqsha di
Yerussalem. Ketiganya telah berdiri sebelum Islam datanga dan ketiganya
didirikan untuk maksud kebajikan yaitu untuk tempat beribadah.
BAB III
PENUTUP
Perkataan waqf menjadi wakaf dalam bahasa Indonesia berasal dari kata kerja
bahasa Arab berarti “berdiri, berhenti” kata wakaf sering disebut juga dengan
habs. Dengan
demikian, kata wakaf itu dapat berarti
berhenti, menghentikan dan dapat pula berarti menahan. Pengertian menahan
dihubungkan dengan harta kekayaan, itulah yang dimaksud wakaf dalam bahasa ini.
Adapun
unsur rukun wakaf dan syarat yang menyertainya adalah sebagai berikut :
Ø
Rukun Wakaf dibagi menjadi 5 macam :
1. Waqif
(Orang yang mewakafkan).
2. Mauquf
atau harta benda
yang diwakafkan.
3. Mauquf
alaih (Tujuan Wakaf).
4. Sighat
(Ikrar atau Pernyataan Wakaf).
5. Nazhir (Pengelola) Wakaf.
Ø
Syarat-syarat wakaf dibagi menjadi 2 macam :
1.
Jangka waktu wakaf.
2.
Peruntukan harta benda wakaf.
Dengan
demikian bila ditinjau dari segi ditujukan kepada siapa wakaf itu, maka makaf
dapat dibagi menjadi 2 macam :
1.
Wakaf Ahli.
2.
Wakaf Khairi.
Tata Cara Mewakafkan yaitu, Calon
wakif datang dimuka PPAIW untuk
melaksanakan ikrar wakaf. Ikrar wakaf dibacakan kepada nadzir dihadapan PPAIW
yang berwenang.
Sebelum mengikrarkan calon
wakif terlebih dahuli menyerahkan kepada PPAIW surat-surat sebagai berikut :
a)
Sertifikat tanah milik.
b)
Surat keterangan kepala desa, diperkuat camat setempat mengenai
kebenaran kepemilikan tanah dan tidak dalam sengketa.
c)
Surat keterangan pendaftaran tanah.
d)
Izin Bupati atau Walikotamadya.
Institusi yang mirip dengan
Wakaf yaitu, Di daerah kekuasaan raja di Jawa yang disebut votsen landen
juga terdapat tanah yang seperti tanah wakaf yang disebut perdikan. Perdikan di
bagi menjadi empat, yaitu :
a)
Desa pesantren.
b)
Desa mijen.
c)
Desa Keputihan.
d)
Desa pakuncen.
Adapun manfaat wakaf bagi
kepentingan orang banyak dan atau kepentingan
umum ialah bahwa melelui sarana-sarana publik yang dibangun dengan harta
benda wakaf, masyarakat akan memperoleh manfaat yang tidak ternilai harganya.
Misalnya, umat Islam bisa malaksanakan sholat berjamaah di masjid,
menyekolahkan anak-anaknya di berbagai madrasah atau sekolah, bisa berobat di rumah-rumah
sakit yang dibangun dengan menggunakan harta benda wakaf dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Sabiq,
Sayyid, (1997), Fiqh al-Sunnah, Bandung : Al-Ma’arif.
Syarifuddin,
Amir, (2003), Garis-garis besar fiqih, Jakarta : Prenada Media.
Suhadi, Imam,(2002).Wakaf untuk kesejahteraan umat.
Yogyakarta : Dana Bakti Prima Yasa.
Suma, Muhammad Amin, (2005), Hukum Kelurga Islam di
Dunia Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
[2] Perang Uhud terjadi pada bulan Syawwal tahun ke-3 Hijrah,
yang diperkirakan berbarengan dengan bulan Januari 625 M. Dikutip dari buku
Muhammad Amin Suma, Hukum Kelurga Islam di Dunia Islam,Hal.141.
[4] Ibnu Hajar
al-Asqalani, Bulugh al-maram min Abdillah al-Ahkam,[t,t]. (Bandung :
Ahmad Dahlan), hal.191. Ibid hal.141.
[5] Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, loc, cit. Dikutip
dari buku Muhammad Amin Suma, Hukum Kelurga Islam di Dunia Islam,Hal.142.
[7] Imam Suahdi. Wakaf untuk kesejahteraan umat.
Hal.35-36.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment