HUKUM ISLAM PADA MASA SAHABAT


HUKUM ISLAM PADA MASA SAHABAT

IAIN2

Tugas Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Materi PAI II
Dosen Pengampu: Hj Tasnim Muhammad M.Ag
Disusun oleh:
Rizka Elfira (26.08.3.1.143)
Stya Styawan (26.08.3.1.149)
Siti Aminah (26.08.3.1.151)



FAKULTAS TARBIYAH /PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
Tahun Ajaran 2011
BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara Islam pada masa kini tidak dapat dilepaskan dari sejarah kelahiran dan pertumbuhan Islam pada masa silam. Kemunculan Agama Islam sekitar abad keenam masehi tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial masyarakat Arab pada masa itu yang kita kenal dengan zaman jahiliyahnya. Kondisi sosial bangsa Arab itulah yang menyebabkan kenapa hukum Islam lebih cenderung bersifat “keras” dan “tegas” terutama dalam masalah jinayah (hukum pidana). Sehingga dapat kita katakan bahwa kondisi sosial suatu masyarakat atau bangsa akan berpengaruh terhadap produk hukum yang diberlakukan dalam masyarakat tersebut.
Telah kita ketahui bahwa sumber penetapan hukum di masa Nabi adalah al-Quran dan as-Sunah. Nabi SAW merupakan rujukan tertinggi dalam berfatwa dan memutuskan hukum. Lalu setelah Nabi wafat dan wahyu tidak turun lagi, kepemimpian umat dalam urusan dunia dan agama beralih ke tangan Khulafa’u Rasyidin dan para sahabat terkemuka. Mereka itulah yang mulai memikul beban dan bangkit dalam tugas berat ini.
Ketentuan-ketentuan hukum bagi umat manusia ini, pada dasarnya disyariatkan Tuhan untuk mengatur tata kehidupan mereka di dunia, baik dalam masalah-masalah keagamaan maupun kemsyarakatan. Dengan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum ini, mereka akan memperoleh ketentraman dan kenyamana serta kebahagiaan dalam hidupnya. Allah berfirman dalam Surat Al-Nisa ayat 105:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu dapat menetapkan hukum kepada manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”.[1]
Tentu saja al-Quran dan Sunnah tidak memuat semua peristiwa yang terjadi dan bakal terjadi pada kaum muslimin secara terperinci. Sebagai konsekuensinya, maka para imam dituntut untuk berijtihad dalam menerapkan ketentuan-ketentuan umum yang sudah ditetapkan dalam al-Quran dan Sunnah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.        Kondisi hukum Islam pada masa khulafaurrasyidin atau sahabat
Sejarah penetapan hukum Islam pada periode sahabat dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad wafat, yaitu tahun 11 Hijriyah. Dan berakhir ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai Khalifah pada tahun 41 Hijriyah. Periode ini merupakan awal sejarah penetapan hukum Islam dalam arti fikih, sebab penetapan hukum pada periode ini merupakan hasil pemahaman terhadap Al-Qur’an dan hadits. Hukum dalam pengertian syariat telah berhenti bersamaan dengan Nabi Muhammad wafat. Periode ini disebut sebagai periode sahabat karena kekuasaan menetapkan hukum berada di tangan para sahabat.
Dan masa mulai dari periode khulafaur Rasyidin dan sahabat-sahabat yang senior, hingga lahirnya Imam Madzhab yaitu dari tahun 11-132 H. Ini meliputi periode khulafaur Rasyidin (11-40 H = 632-661 M). Pada masa ini daerah kekuasaan Islam semakin luas, meliputi beberapa daerah di luar semenanjung Arabia, seperti Mesir, Syria, Iran (Persia) dan Iraq. Dan bersamaan dengan itu pula, agama Islam berkembang dengan pesat mengikuti perkembangan daerah tersebut.
Pada periode sahabat dalam penetapan hukum islam ini lahir syarat dan ketentuan siapa yang berhak menetapkan hukum dan memberi fatwa, antara lain:
a.       Sampai sejauh mana keahlian mereka dalam soal hukum.
b.    Berapa lama mereka bergaul dan dekat dengan Nabi Muhammad.
c.    Dan seberapa jauh pengetahuan mereka tentang Al-Qur’an (asbabun nuzul) maupun hadits.
d.    Di samping itu juga hafal Al-Qur’an dan hadits juga dipertimbangkan.[2]
Periode sahabat ditandai dengan penafsiran undang-undang dan terbukanya istinbath hukum (menetapkan hukum) dalam kejadian-kejadian yang tidak ada nash hukumnya. Dari para pemuka sahabat muncul pendapat dalam menafsirkan nash-nash hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang dapat dipandang sebagai pandangan yuridis (kehakiman) bagi penafsiran nash-nash serta penjelasannya. Dari para sahabat banyak keluar fatwa hukum mengenai kejadian yang tidak ada nashnya dan dapat dipandang sebagai dasar dalam berijtihad dan beristimbath.[3]
Di periode sahabat ini, kaum muslimin telah memiliki rujukan hukum syari’at yang sempurna berupa Al-qur’an dan Hadits Rasul. Kemudian dilengkapi dengan ijma’ dan qiyas, diperkaya dengan adat istiadat dan peraturan-peraturan berbagai daerah yang bernaung dibawah naungan Islam. Dapat kita tegaskan bahwa di zaman khulafaur Rasyidin lengkaplah dalil-dalil tasyri Islami (dasar-dasar fiqih Islam) yang empat, yaitu: Al-Kitab, As Sunnah, Al-Qiyas atau ijtihad, atau ra’yu dan Ijma’ yang bersandar pada Al-Kitab, atau As-Sunnah, atau Qiyas(Djafar, 1992).
B.        Sumber hukum islam yang dipakai pada masa sahabat
Pada masa sahabat, hukum Islam mengalami perkembangan sejalan dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan umat Islam dan seiring dengan perubahan kondisi sosial pada masa itu. Banyak sekali persoalan-persoalan baru yang muncul di kalangan umat Islam pada masa itu yang memerlukan penentuan hukum. Oleh karena itu dalam memutuskan setiap perkara, para sahabat selalu berpedoman pada al-Quran dan Hadits sebagai sumber hukum Islam pertama. Namun bila tidak dijumpai dalam al-Quran dan hadits, para sahabat menggunakan ijtihad sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah.
Para sahabat sangat berhati-hati dalam menggunakan akal (ra’yu). Kebanyakan mereka mencela ra’yu. Yang mereka cela bukanlah apa yang mereka lakukan, tetapi mereka mencela apabila mengikuti hawa nafsu dalam berfatwa tanpa bersandar pada pokok agama. Dengan demikian, pada masa sahabat ada empat sumber hukum, yaitu:
1.  Al-Quran sebagai pegangan (landasan)
2.  As-Sunah
3.  Qiyas dan ra’yu (pendapat) sebagai cabang al-Quran dan Sunnah
4.  Ijma’ yang bersandar pada al-Quran, Sunah dan qiyas.
Alasan para sahabat melakukan ijtihad, ialah karena mereka melihat Rasulullah melakukan ijtihad bila wahyu Ilahi tidak turun. Suatu ketika Rasul mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman. Rasul bertanya kepada Mu’adz, “Dengan apa engkau menghukumi sesuatu?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Kitab Allah.” Kemudian Rasul bertanya lagi, “Jika tidak kamu jumpai dalam Kitab Allah?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Sunnah Rasulullah.” Dan Rasul bertanya lagi, “Dan jika kamu tidak menjumpai dalam Sunnah Rasulullah?” Jawab Mu’adz, “Saya berijtihad dengan pendapatku.” Kemudian Rasul membenarkannya seraya memuji Allah atas limpahannya Taufik-Nya.[4]
Para sahabat yang pernah mengalami hidup bersama Nabi Muhammad, diantara mereka banyak yang hafal Al-Qur’an dan Hadits. Karena keistimewaan inilah mereka memiliki keahlian untuk menjelaskan nash-nash tersebut jika ada pertanyaan atau persoalan yang muncul pada masa itu. Karena para sahabat mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan sebab-sebab Nabi bersabda, maka mereka memahami tentang ketetapan hukum serta maksud dan tujuan ditetapkan hukum untuk menjamin kemaslahatan ummat. Diantara para sahabat yang termasyhur yakni, Abu bakar, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Abu Musa, Abdullah bin Amir bin As, Zaid bin Tsabit dll.[5]
Dan dalam berijtihad tidak jarang para sahabat berbeda pendapat. Keputusan fiqih yang berbeda ini karena beberapa hal, misalnya:
a.      Perbedaan persepsi dalam menjawab persoalan dan pertanyaan yang muncul. Misalnya dalam sebuah riwayat disebutkan, Rasulullah berdiri ketika menyaksikan jenazah orang Yahudi. Ini melahirkan keragaman penafsiran, apakah Nabi tidak tahu bahwa jenazah tersebut adalah orang Yahudi, sehingga, andaikata Nabi mengetahui ia tidak akan berdiri, atau apakah Nabi tahu, sehingga penghormatan jenazah itu perlu tanpa memandang agama si mayit, ataukah Nabi tidak mau kalau ketika mayit melintas, posisi Nabi lebih rendah sehingga beliau berdiri.
b.      Perbedaan pendapat juga dapat terjadi karena sebuah hadits diketahui oleh orang tertentu yang tidak dipakai atau diketahui oleh orang lain. Contohnya perbedaan pendapat tentang najis mughalladzah, doa qunut dalam shalat subuh dll.
c.       Hadits yang dipandang tidak kuat, sehingga harus ditinggalkan. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Fatimah binti Qais bersaksi di hadapan Umar bahwa ia ditalak suaminya tiga kali, dan Rasulullah tidak menentukan baginya nafkah dan tempat tinggal. Umar menolak kesaksiannya itu dan berkata, “Saya tidak akan meninggalkan Kitab Allah hanya karena ucapan seorang wanita yang tidak saya ketahui benar dan tidaknya. Dia berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal”.
d.      Keragaman pengetahuan tentang nash juga melahirkan perbedaan pendapat. Nabi pernah memberi keringanan kepada sahabat untuk nikah mut’ah pada tahun Khaibar dan Authas, kemudian melarangnya. Berdasarkan keputusan Nabi tadi, sebagian orang islam mengatakan bahwa nikah mut’ah yang tadinya diperbolehkan itu telah dinasakh dengan larangannya, dan tidak pernah diperbolehkan itu telah diperbolehkan lagi. Sebagian lain berpendapat bahwa dilarang dan diperbolehkannya nikah mut’ah itu karena pertimbangan tertentu, bukan tanpa alasan seperti pendapat pertama.[6]
Namun demikian perbedaan tersebut tidak menimbulkan perpecahan di kalangan para sahabat. Perbedaan itu ditanggapi dengan bijaksana. Perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang sudah biasa (fitrah) dan rahmat bagi manusia. Hal inilah yang patut kita teladani dalam menyikapi segala perbedaan.
C.        Proses pembukuan hukum pada masa sahabat
Setelah Rasulullah wafat, maka seluruh ayat-ayat Al-Qur’an telah ditulis. Banyak di antara sahabat yang hafal Al-Qur’an, baik sebagian maupun keseluruhan. Ketika berkecamuk peperangan membasmi kaum yang murtad di masa pemerintahan Abu bakar Ash-Shiddiq, banyak di antara para sahabat yang gugur di dalam peperangan itu. Maka muncullah kekhawatiran ‘ulil amri (penguasa pemerintahan) atas hilangnya lembaran Al-Qur’an yang dihafal oleh para sahabat yang gugur di medan perang. Para sahabat kemudian mengajukan usul kepada khalifah Abu Bakar agar menghimpun catatan Al-Qur’an yang ada menjadi satu.
Kemudian Abu Bakar menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menghimpun dan menulis Al-Qur’an. Dalam proses pengumpulan, Zaid bermusyawarah dengan para pemuka sahabat. Pertama kali kumpulan Al-Qur’an disimpan oleh Abu Bakar kemudian diteruskan penyimpanannya oleh Umar bin Khattab, kemudian diteruskan oleh Hafsah binti Umar. Dan pada 20 H, Khalifah Utsman bin Affan mengambil kumpulan naskah Al-Qur’an dari Hafsah binti Umar dan beliau menginstruksikan kepada Zaid untuk serta beberapa sahabat untuk menukil dan melengkapi naskah tersebut guna disebarkan kepada umat islam.
 Dengan demikian mudah bagi setiap muslim untuk kembali kepada Al-Qur’an dan tidak terjadi perselisihan perbedaan dialek bacaan. Zaid dan para sahabat menulis enam buah naskah, sebuah disimpan sendiri oleh khalifah Utsman. Sedangkan masing-masing dikirim ke Madinah, Kufah, Mekkah, Basrah dan Damaskus.
Sedangkan pembukuan hukum islam yang kedua yaitu As-Sunnah belum dibukukan pada masa ini, namun khalifah Umar bin Khattab telah memikirkan pembukuan As-Sunnah. Namun sesudah bertukar pikiran dan bermusyawarah dengan para sahabat, beliau khawatir terhadap pembukuan As-Sunnah, mengapa? Karena waktu itu hanya dikenal satu versi As-Sunnah dari ‘Abdullah ibn Amr ibn Al’Ash yang mempunyai lembaran bernama Al-Shadiq yang menghimpun hadits dari Rasulullah. Pengumpulan hadits dan rencana pembukuan Al-Qur’an dilakukan oleh para sahabat dengan sangat hati-hati dan selektif, terutama dari aspek perawinya. Abu bakar hanya menerima hadits yang diperkuat oleh saksi. Sedangkan umar bin khattab meminta si perawi mendatangkan bukti bahwa ia benar-benar telah meriwayatkannya, dan Ali bin Abi Thalib meminta agar si perawi hadits bersumpah. Namun demikian, sikap hati-hati ini belum dapat merealisasikan tujuan yang sebenarnya, yaitu pembukuan As-Sunnah dan hal ini mengakibatkan dua hal, yaitu:
a.  Para ulama’ terpaksa mencurahkan kesungguhan dalam membahas perawi hadits dan tingkatan kepercayaan mereka.
b.  Ketiadaan pembukuan As-Sunnah membawa akibat umat islam tidak memiliki satu koleksi As-Sunnah sebagaimana mereka memiliki koleksi Al-Qur’an. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan pendapat mengenai tentang hadits.
Sedangkan periode ijtidah para sahabat, belum ada pembukuan terhadap ijtidah mereka. Nilai fatwa para sahabat merupakan pendapat perseorangan, jika benar maka berasal dari Allah, tetapi jika keliru berasal dari sahabat itu sendiri. Para sahabat itu tidak mengharuskan siapa pun untuk mengikuti fatwanya. Para sahabat seringkali berbeda pendapat tentang berbagai kejadian dan rujukan hukumnya, yang terpenting maksud para sahabat adalah baik, yakni mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.[7]


BAB III
PENUTUP
       Kesimpulan
Sejarah penetapan hukum islam pada periode sahabat dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad wafat, yaitu tahun 11 Hijriyah. Dan berakhir ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai Khalifah pada tahun 41 Hijriyah. Periode ini merupakan awal sejarah penetapan hukum islam dalam arti fikih, sebab penetapan hukum pada periode ini merupakan hasil pemahaman terhadap Al-Qur’an dan hadits. Hukum dalam pengertian syariat telah berhenti bersamaan dengan Nabi Muhammad wafat. Periode ini disebut sebagai periode sahabat karena kekuasaan menetapkan hukum berada di tangan para sahabat.
Pada periode sahabat dalam penetapan hukum islam ini lahir syarat dan ketentuan siapa yang berhak menetapkan hukum dan memberi fatwa, antara lain:
a.     Sampai sejauh mana keahlian mereka dalam soal hukum.
b.      Berapa lama mereka bergaul dan dekat dengan Nabi Muhammad.
c.    Dan seberapa jauh pengetahuan mereka tentang Al-Qur’an (asbabun nuzul) maupun hadits.
d.      Di samping itu juga hafal Al-Qur’an dan hadits juga dipertimbangkan.
Pada masa sahabat, hukum Islam mengalami perkembangan sejalan dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan umat Islam. Oleh karena itu dalam memutuskan setiap perkara, para sahabat selalu berpedoman pada al-Quran dan Hadits sebagai sumber hukum Islam pertama. Namun bila tidak dijumpai dalam al-Quran dan hadits, para sahabat menggunakan ijtihad sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah.
Dengan adanya sejarah pembentukan hukum islam pada masa sahabat ini semoga bisa menjadikan kita lebih yakin dan selalu berpedoman pada sumebr hukum islam sebagai sumber pembuatan keputusan setiap persoalan kita agar kita bisa selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA

Rochman, M. Ibnu. Hukum Islam dalam Perspektif Filsafat. Philosophy Press. Yogyakarta : 2001.
Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta : 1995.
Khallaf, Abdul Wahab. Sejarah Hukum Islam. Penerbit Marja. Bandung : 2005.
Muh. Zuhri. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta : 1996.


[1] Dede Rosyada. Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 13.

[2] M. Ibnu Rochman. Hukum Islam dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta : Philosophy Press, 2001), hlm. 46.

[3] Abdul Wahhab Khallaf. Sejarah Hukum Islam, (Bandung : Penerbit Marja, 2005), hlm. 31.
[4] Abdul Wahhab Khallaf. Op. Cit, hlm. 35.
[5] M. Ibnu Rochman. Op. Cit, hlm. 47.
[6] Muh. Zuhri. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 45-48.

[7] Abdul Wahhab Khallaf. Op. Cit, hlm. 35-39.

No comments:

Post a Comment