PENDIDIKAN ISLAM MODERN: Pemikiran Ahmad Dahlan (Review)



  1. PENDAHULUAN
Diskursus antara tradisional dan modern dalam pemikiran  Islam sampai detik ini belum bisa dihapuskan. Karena hal ini merupakan sebuah kajian yang mempunyai tempat yang cukup strategis dalam kajian pemikiran pendidikan Islam. Penjenisan semacam ini cukup kental telebih di Indonesia (Deliar Noor, 1985). Hal ini disebabkan poros perkembangan pendidikan di Indonesia dikembangkan dari kedua jenis tersebut dengan segala plus minusnya.
Pendidikan tradisional (salaf) sebagai bentuk usaha penduduk pribumi telah mulai menggeliat sekitar tahun 1404-1419 M. Bentuk pendidikan tersebut berupa pesantren. Memang belum ada kesimpulan final mengenai mulai kapan pesantren pertama kali muncul di Indonesia. Akan tetapi sekedar sebagai pegangan berdasarkan penuturan Babad Tanah Jawi yang dikutib oleh ridin Sofqan dkk bahwa Syaikh Maulana Malik Ibrahim telah meyebarkan Islam denga merintis pendidikan pesantren antara tahun 1404-1419 M (Ridin Sofwan, 2002: 22; Abdurahman Mas’ud, 2000:224). Penuturan Ridin tersebut nampaknya senada dengan penelitian yang dilakukan oleh H.J. De Graaf Th. Pigeaud dengan salah satu kesimpulannya bahwa Syaikh Maulana Malik Ibrahim wafat tanggal 12 Rabiul Awal tahun 822 H atau bertepatan dengan tahun 1419 M atau sekitar abad XV-XIV (H.J. De Graaf Th. Pigeaud, 2001:22).
Proses pencarian bentuk dan jati diri pendidikan pribumi teru berlanjut bagai bola salju sampai abad XVII dan XIX. Pada abad tersebut pendidikan pribumi dalam bentuk pondok pesantren telah mencapai klimaknya yaitu terbentuknya beberapa pondok pesantren. Perkembangan selanjutnya pondok pesantren tidak bisa dilepaskan dari Jami’yah Nahdlatul Ulama’ yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ary pada tahun 1926 M. Di tangan Hasyim Asy’ary dengan sistem ”genealogi” menuurt hasil penelitian Dhofier, pndok pesantren dengan NU menjadi berkembang dan dekat di hati masyarakat khususnya di Jawa. Pndok pesantren sebagai kreasi penduduk pribumi pada saat itu menjadi primadona bagi masyarakat.
Pondok pesantren sebagai presentasi pendidikan tradisional mampu memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap bangsa Indonesia.
Di sisi lain, perkembangan pendidikan di Indonesia tidak hanya sistem pondok pesantren yang berkembang, akan tetapi pendidikan yang berbentuk modern (sistem sekolah) juga telah dirintis oleh kaum modernis pada abad XIX tersebut yaiut oleh Ahmad Dahlan denga Muhammadiyah sebagai wadah organisasi yang didirikan pada tahun 1912 M yang berpusat di Yogyakarta telah mampu menunjukkan eksistensinya sebagai presentasi pendidikan modern di Indonesia.
Menarik untuk dikaji dlam hal pemikiran pendidikan Islam yaitu pemikiran Hasyim Asy’ary dan Ahmad Dahlan. Hasyim Asy’ary dan Ahmad Dahlam merupakan pendiri organsasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Oleh karena itu atas jasa keduanya Indonesia sampai saat ini telah mempunyai aset yang sangat berharga dalam pengembangan pendidikan di Indonesia.
Oleh karena itu jurnal Ilmiah MANAHIJ (Berfikir Kritis Transformatif), pada sub bab TRADISIONAL DAN MODERN PENDIDIKAN ISLAM; Studi Komparatif antara Pemikiran Hasyim Asy’ary dan Ahmad Dahlan, yang ditulis oleh  Khojir, MSi, ini hendak menggali pemkiran kedua tokoh tersebut dalam bidang pendidikan Islam kemudian berusaha mencari makna dan menafsirkan sesuai dengan konstalasi pendidikan sekarang. Akan tetapi, pada kesempatan kali ini saya hanya akan memfokuskan pada Ahmad Dahlan saja.

  1. BIOGRAFI AHMAD DAHLAN
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun1868 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1923. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar, seorang imam dan khatib Masjid Besar Kraton Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri KH. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.(Versi Jurnal)
Ahmad Dahlan lahir di kampung Kauman Yogyakarta, 1 Agustus 1868 dan meninggal dimakamkan di KarangKajen Yogyakarta tanggal 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun beliau adalah seorang anak Pahlawan Nasional Indonesia. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar, beliau adalah imam dan khatib Masjid Besar Kauman Yogyakarta. Sementara ibunya adalah Siti Aminah, beliau adalah anak KH. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Lima orang perempuan dan dua orang laki-laki. Menurut salah satu sumber, KH. Ahmad Dahlan memiliki silsilah keturuan dengan Maulana Malik Ibrahim, salah satu wali penyebar agama Islam yang dikenal di pulau Jawa. ( Wikipedia bahasa Indonesia, Ahmad Dahlan dalam http://id.wikipedia.org/wiki/ Ahmad Dahlan (diakses hari sabtu, 11 Desember 2010 pada pukul 10.32 WIB)
Dalam buku Filsafat pendidikan Islam yang ditulis oleh Hamdani Ihsan, menyebutkan bahwa Ahmad Dahlan lahir pada tahun 1868 di Yogyakarta, dan wafat pada tanggal 23 Februari 1923 pada usia 55 tahun.

Semenjak kecil, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putera Kyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Diantaranya ialah KH. Muhammad Saleh (Ilmu Fiqh), KH. Muhsin (Ilmu Nahwu), KH. R. Dahlan (Imu Falak), KH. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (Ilmu Hadits). Syekh Amin dan Sayyid Bakri (Qira’at al-Qur’an), serta beberapa guru lainnya. (Versi Jurnal).
Dalam buku Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah, yang ditulis oleh Abdul Munir Mulkhan manyebutkan bahwa secara formal Dahlan tidak mendapat atau pernah memperoleh pendidikan. Pengetahuannya sebagian diperoleh dari otodidaknya. Kemampuan baca-tulis ia peroleh dari ayahnya, sahabat dan saudara-saudara iparnya.
Abdul Munir Mulkhan, dalam bukunya yang berjudul Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah, menyebutkan bahwa menjelang dewasa, ia belajar Ilmu Fiqih pada KH. Muhammad Shaleh, Ilmu Nahwu pada KH. Muhsin dan KH. Abdul Hamid, Ilmu Falaq pada Raden Dahlan (salah satu putra Kyai Termas), Ilmu Hadits pada Kyai Mahfud dan Syech Khayyat, Qiro’atul Qur’an pada Syech Amin dan Sayyid Bakri Sattocck, Ilmu Pengobatan dan Racun Binatang pada Syech Hasan.
 Dalam bukunya Abdul Kholiq, yang berjudul Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, menyatakan bahwa dalam salah satu sejarah disebutkan KH. Ahmad Dhlan pernah belajar Ilmu Falaq kepada Kyai Saleh Darat, salah seorang ulama terkenal yang tinggal di kampung Darat, Semarang. Di pesantren ini pula, KH. Hasyim Asy’ary, pendiri NU pernah belajar.
Dengan data ini,tak heran jika dalam usia relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualnya yang tinggi membuat Ahmad Dahaln selalu merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya. (Mahmud Yunus, 1979 : 270)

Setelah bebrapa waktu belajar dengan sejumlah guru, pada tahun 1890 Dahlan berangkat ke Makkah untuk malanjutkan studinya dan bermukim disana selama setahun. Merasa tidak puas dengan hasil kunjungan belajarnya yang pertama, maka pada tahun 1903, ia berangkat lagi ke Makkah dan menetap selama dua tahun. Ketika mukim yang kedua kalinya ini, ia banyak bertemu dan melakukan mudzakarah (diskusi) dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim di Makkah.
Di antara para ulama tersenut adalah Syech Muhammad Khatib al-Minangkabauwi, Kyai Nawawi al-Bantani, Kyai Mas Abdullah dan Kyai Faqih Rembang. Pada saat itu pula, Ahmad dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang ada di Timur Tengah melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh pembaharu Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamaluddin al-Afghani, Muammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain sebagainya. (Versi jurnal)
Dalam buku Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, yang ditulis oleh Abdul Kholiq, menyebutkan bahwa pada tahun 1890, saat usia Dahlan mencapai 22 tahun, ia dikirim oleh ayahnya untuk melaksanakan ibadah Haji dan memperdalam ilmu agamanya. Diantara gurunya di Makkah adalah Sayyid Bakri Syata’ (salah seorang Mufti Madzhab Syafi’i yang bermukim di Makkah). Bahkan ia yang memberikan atau mengganti nama Muhammad Darwis menjadi Ahmad Dahlan. ( MT. Arifin, 1987)
Sedangkan menurut Hamdani Ihsan dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pendidikan Islam, menyebutkan bahwa setelah KH.Ahmad Dahlan belajar di Makkah kemudian is kembali ke Indonesi dan menjabat sebagai pegawai Masjid Sultan, dan sempat menjadi saudagar (pernah berniaga di Jakarta dan Surabaya) bahkan sampai ke seberang Medan.
Abdul Munir Mulkhan, dalam bukunya yang berjudul Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah, menyebutkan bahwa rasa ingin tahu yang besar mendorong Dahlan memanfaatkan kesempatan utnuk belajar. Demikian pula ketika ia naik haji setelah deawsa pada usia 22 tahun yaitu tahun 18990, waktu yang ada dipergunakannya untuk belajar pada Imam Syafi’i Sayyid Bakri Syantha selama sekitar 2 tahun. Demikian pula ketika beliau sempat naik haji 13 tahun kemudian (tahun 1903) bersama putranya Siraj Dahlan yang berusia 13 tahun. Dahlan kemudian selam 1,5 tahun bermukim di Makkah untuk memperdalam Ilmu Fiqih dan Ilmu Hadits. Di samping itu, cintanya kepada ilmu juga ditunjukkan oleh peristiwa yang terjadi tahun 1892. pada tahun tersebut seseorang memberi uang sebesar 500 gulden dengan maksud untuk modal berniaga. Namun demukian uang yang seharusnya untuk modal kerja itu, beliau belikan buku-buku dan kitab.
Sebagaimana pernah disebut dalam Ilmu Fiqih beliau berguru kepada Kyai Mahfud Termas, dan Ilmu Hadits kepada Sayyid Baabussijjil dan Mufti Syafi’i. Selain Kyai belajar kepada guru-guru tersebut, Kyai juga mempelajari dan memperdalam Ilmu Falaq dan Qiro’ah pada gurunya Kyai Asy’ary Baceyan, dan Syech Ali Mishri Makkah.
Pada saat Kyai mukim yang kedua di Makkah tahun 1896 pada saat menjadi Khatib, beliau bertemu dan bertukar pikiran dengan ulama Indonesia yang bermukim di Makkah, seperti : Syech Muhammad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Andullah dari Surabaya, Kyai Faqih Kumambang dari Gersik.
Nuku yang sbanyak dibaca di samping ketekunannya berguru telah memperkaya pengetahuan Kyai dalam berbagai hal. Buku yang Kyai baca antara lain Ilmu Kalam dari buku Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang mengandung pemikiran filosofis, bbuku fiqihnya Imam Syafi’i, kitab Tasawufnya Imam Ghazali, dan kitab-kitab yang ditulis oleh Syech Muhammad Abduh dan Ibn Taimiyah.
Arbiyah Lubis dalam bukunya yang berjudul Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh; Studi Pembandingan, menyebutkan bahwa persamaan dan perbedaan antara pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad abduh antara lain:
a.                 Muhammadiyah: Perbuatan diciptakan Tuhan dalam diri manusia disebut ”Kasb”, jadi manusia tidaklah bebas dalam memilih perbuatannya tetapi terikat oleh kekuasaan mutlak Tuhan dalam menciptakan perbuatan yang dikehendaki-NYA, hal ini sama dengan paham Jabariyah yang menghilangkan peran manusia dalam perbuatannya.
b.                Mu. Abduh: Yang diciptakan Tuhan pada manusia yang sejak lahir adalah potensi, daya dan kehendak dalam berbuat, yang memungkinkan manusia bebas memilih perbuatannya dengan pertimbangan akal yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.
c.                 Muhammadiyah: Cenderung bersikap pasif, karena semuanya kembali pada apa yang telah ditetapkan oleh Allah.
d.                Muh. Abduh: Aktif, karena sesuatu yang dicapai dengan akal untuk menguasai sunnah yang ditetapkan Tuhan. Hal itu mendorong untuk bersikap lebih dinamis, (menyatukan akal dan daya untuk dapat menundukkan sunnah yang harus dipenuhi).

No comments:

Post a Comment