HUKUM ISLAM PADA MASA SAHABAT

0
COM

HUKUM ISLAM PADA MASA SAHABAT

IAIN2

Tugas Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Materi PAI II
Dosen Pengampu: Hj Tasnim Muhammad M.Ag
Disusun oleh:
Rizka Elfira (26.08.3.1.143)
Stya Styawan (26.08.3.1.149)
Siti Aminah (26.08.3.1.151)



FAKULTAS TARBIYAH /PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
Tahun Ajaran 2011
BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara Islam pada masa kini tidak dapat dilepaskan dari sejarah kelahiran dan pertumbuhan Islam pada masa silam. Kemunculan Agama Islam sekitar abad keenam masehi tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial masyarakat Arab pada masa itu yang kita kenal dengan zaman jahiliyahnya. Kondisi sosial bangsa Arab itulah yang menyebabkan kenapa hukum Islam lebih cenderung bersifat “keras” dan “tegas” terutama dalam masalah jinayah (hukum pidana). Sehingga dapat kita katakan bahwa kondisi sosial suatu masyarakat atau bangsa akan berpengaruh terhadap produk hukum yang diberlakukan dalam masyarakat tersebut.
Telah kita ketahui bahwa sumber penetapan hukum di masa Nabi adalah al-Quran dan as-Sunah. Nabi SAW merupakan rujukan tertinggi dalam berfatwa dan memutuskan hukum. Lalu setelah Nabi wafat dan wahyu tidak turun lagi, kepemimpian umat dalam urusan dunia dan agama beralih ke tangan Khulafa’u Rasyidin dan para sahabat terkemuka. Mereka itulah yang mulai memikul beban dan bangkit dalam tugas berat ini.
Ketentuan-ketentuan hukum bagi umat manusia ini, pada dasarnya disyariatkan Tuhan untuk mengatur tata kehidupan mereka di dunia, baik dalam masalah-masalah keagamaan maupun kemsyarakatan. Dengan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum ini, mereka akan memperoleh ketentraman dan kenyamana serta kebahagiaan dalam hidupnya. Allah berfirman dalam Surat Al-Nisa ayat 105:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu dapat menetapkan hukum kepada manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”.[1]
Tentu saja al-Quran dan Sunnah tidak memuat semua peristiwa yang terjadi dan bakal terjadi pada kaum muslimin secara terperinci. Sebagai konsekuensinya, maka para imam dituntut untuk berijtihad dalam menerapkan ketentuan-ketentuan umum yang sudah ditetapkan dalam al-Quran dan Sunnah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.        Kondisi hukum Islam pada masa khulafaurrasyidin atau sahabat
Sejarah penetapan hukum Islam pada periode sahabat dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad wafat, yaitu tahun 11 Hijriyah. Dan berakhir ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai Khalifah pada tahun 41 Hijriyah. Periode ini merupakan awal sejarah penetapan hukum Islam dalam arti fikih, sebab penetapan hukum pada periode ini merupakan hasil pemahaman terhadap Al-Qur’an dan hadits. Hukum dalam pengertian syariat telah berhenti bersamaan dengan Nabi Muhammad wafat. Periode ini disebut sebagai periode sahabat karena kekuasaan menetapkan hukum berada di tangan para sahabat.
Dan masa mulai dari periode khulafaur Rasyidin dan sahabat-sahabat yang senior, hingga lahirnya Imam Madzhab yaitu dari tahun 11-132 H. Ini meliputi periode khulafaur Rasyidin (11-40 H = 632-661 M). Pada masa ini daerah kekuasaan Islam semakin luas, meliputi beberapa daerah di luar semenanjung Arabia, seperti Mesir, Syria, Iran (Persia) dan Iraq. Dan bersamaan dengan itu pula, agama Islam berkembang dengan pesat mengikuti perkembangan daerah tersebut.
Pada periode sahabat dalam penetapan hukum islam ini lahir syarat dan ketentuan siapa yang berhak menetapkan hukum dan memberi fatwa, antara lain:
a.       Sampai sejauh mana keahlian mereka dalam soal hukum.
b.    Berapa lama mereka bergaul dan dekat dengan Nabi Muhammad.
c.    Dan seberapa jauh pengetahuan mereka tentang Al-Qur’an (asbabun nuzul) maupun hadits.
d.    Di samping itu juga hafal Al-Qur’an dan hadits juga dipertimbangkan.[2]
Periode sahabat ditandai dengan penafsiran undang-undang dan terbukanya istinbath hukum (menetapkan hukum) dalam kejadian-kejadian yang tidak ada nash hukumnya. Dari para pemuka sahabat muncul pendapat dalam menafsirkan nash-nash hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang dapat dipandang sebagai pandangan yuridis (kehakiman) bagi penafsiran nash-nash serta penjelasannya. Dari para sahabat banyak keluar fatwa hukum mengenai kejadian yang tidak ada nashnya dan dapat dipandang sebagai dasar dalam berijtihad dan beristimbath.[3]
Di periode sahabat ini, kaum muslimin telah memiliki rujukan hukum syari’at yang sempurna berupa Al-qur’an dan Hadits Rasul. Kemudian dilengkapi dengan ijma’ dan qiyas, diperkaya dengan adat istiadat dan peraturan-peraturan berbagai daerah yang bernaung dibawah naungan Islam. Dapat kita tegaskan bahwa di zaman khulafaur Rasyidin lengkaplah dalil-dalil tasyri Islami (dasar-dasar fiqih Islam) yang empat, yaitu: Al-Kitab, As Sunnah, Al-Qiyas atau ijtihad, atau ra’yu dan Ijma’ yang bersandar pada Al-Kitab, atau As-Sunnah, atau Qiyas(Djafar, 1992).
B.        Sumber hukum islam yang dipakai pada masa sahabat
Pada masa sahabat, hukum Islam mengalami perkembangan sejalan dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan umat Islam dan seiring dengan perubahan kondisi sosial pada masa itu. Banyak sekali persoalan-persoalan baru yang muncul di kalangan umat Islam pada masa itu yang memerlukan penentuan hukum. Oleh karena itu dalam memutuskan setiap perkara, para sahabat selalu berpedoman pada al-Quran dan Hadits sebagai sumber hukum Islam pertama. Namun bila tidak dijumpai dalam al-Quran dan hadits, para sahabat menggunakan ijtihad sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah.
Para sahabat sangat berhati-hati dalam menggunakan akal (ra’yu). Kebanyakan mereka mencela ra’yu. Yang mereka cela bukanlah apa yang mereka lakukan, tetapi mereka mencela apabila mengikuti hawa nafsu dalam berfatwa tanpa bersandar pada pokok agama. Dengan demikian, pada masa sahabat ada empat sumber hukum, yaitu:
1.  Al-Quran sebagai pegangan (landasan)
2.  As-Sunah
3.  Qiyas dan ra’yu (pendapat) sebagai cabang al-Quran dan Sunnah
4.  Ijma’ yang bersandar pada al-Quran, Sunah dan qiyas.
Alasan para sahabat melakukan ijtihad, ialah karena mereka melihat Rasulullah melakukan ijtihad bila wahyu Ilahi tidak turun. Suatu ketika Rasul mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman. Rasul bertanya kepada Mu’adz, “Dengan apa engkau menghukumi sesuatu?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Kitab Allah.” Kemudian Rasul bertanya lagi, “Jika tidak kamu jumpai dalam Kitab Allah?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Sunnah Rasulullah.” Dan Rasul bertanya lagi, “Dan jika kamu tidak menjumpai dalam Sunnah Rasulullah?” Jawab Mu’adz, “Saya berijtihad dengan pendapatku.” Kemudian Rasul membenarkannya seraya memuji Allah atas limpahannya Taufik-Nya.[4]
Para sahabat yang pernah mengalami hidup bersama Nabi Muhammad, diantara mereka banyak yang hafal Al-Qur’an dan Hadits. Karena keistimewaan inilah mereka memiliki keahlian untuk menjelaskan nash-nash tersebut jika ada pertanyaan atau persoalan yang muncul pada masa itu. Karena para sahabat mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan sebab-sebab Nabi bersabda, maka mereka memahami tentang ketetapan hukum serta maksud dan tujuan ditetapkan hukum untuk menjamin kemaslahatan ummat. Diantara para sahabat yang termasyhur yakni, Abu bakar, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Abu Musa, Abdullah bin Amir bin As, Zaid bin Tsabit dll.[5]
Dan dalam berijtihad tidak jarang para sahabat berbeda pendapat. Keputusan fiqih yang berbeda ini karena beberapa hal, misalnya:
a.      Perbedaan persepsi dalam menjawab persoalan dan pertanyaan yang muncul. Misalnya dalam sebuah riwayat disebutkan, Rasulullah berdiri ketika menyaksikan jenazah orang Yahudi. Ini melahirkan keragaman penafsiran, apakah Nabi tidak tahu bahwa jenazah tersebut adalah orang Yahudi, sehingga, andaikata Nabi mengetahui ia tidak akan berdiri, atau apakah Nabi tahu, sehingga penghormatan jenazah itu perlu tanpa memandang agama si mayit, ataukah Nabi tidak mau kalau ketika mayit melintas, posisi Nabi lebih rendah sehingga beliau berdiri.
b.      Perbedaan pendapat juga dapat terjadi karena sebuah hadits diketahui oleh orang tertentu yang tidak dipakai atau diketahui oleh orang lain. Contohnya perbedaan pendapat tentang najis mughalladzah, doa qunut dalam shalat subuh dll.
c.       Hadits yang dipandang tidak kuat, sehingga harus ditinggalkan. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Fatimah binti Qais bersaksi di hadapan Umar bahwa ia ditalak suaminya tiga kali, dan Rasulullah tidak menentukan baginya nafkah dan tempat tinggal. Umar menolak kesaksiannya itu dan berkata, “Saya tidak akan meninggalkan Kitab Allah hanya karena ucapan seorang wanita yang tidak saya ketahui benar dan tidaknya. Dia berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal”.
d.      Keragaman pengetahuan tentang nash juga melahirkan perbedaan pendapat. Nabi pernah memberi keringanan kepada sahabat untuk nikah mut’ah pada tahun Khaibar dan Authas, kemudian melarangnya. Berdasarkan keputusan Nabi tadi, sebagian orang islam mengatakan bahwa nikah mut’ah yang tadinya diperbolehkan itu telah dinasakh dengan larangannya, dan tidak pernah diperbolehkan itu telah diperbolehkan lagi. Sebagian lain berpendapat bahwa dilarang dan diperbolehkannya nikah mut’ah itu karena pertimbangan tertentu, bukan tanpa alasan seperti pendapat pertama.[6]
Namun demikian perbedaan tersebut tidak menimbulkan perpecahan di kalangan para sahabat. Perbedaan itu ditanggapi dengan bijaksana. Perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang sudah biasa (fitrah) dan rahmat bagi manusia. Hal inilah yang patut kita teladani dalam menyikapi segala perbedaan.
C.        Proses pembukuan hukum pada masa sahabat
Setelah Rasulullah wafat, maka seluruh ayat-ayat Al-Qur’an telah ditulis. Banyak di antara sahabat yang hafal Al-Qur’an, baik sebagian maupun keseluruhan. Ketika berkecamuk peperangan membasmi kaum yang murtad di masa pemerintahan Abu bakar Ash-Shiddiq, banyak di antara para sahabat yang gugur di dalam peperangan itu. Maka muncullah kekhawatiran ‘ulil amri (penguasa pemerintahan) atas hilangnya lembaran Al-Qur’an yang dihafal oleh para sahabat yang gugur di medan perang. Para sahabat kemudian mengajukan usul kepada khalifah Abu Bakar agar menghimpun catatan Al-Qur’an yang ada menjadi satu.
Kemudian Abu Bakar menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menghimpun dan menulis Al-Qur’an. Dalam proses pengumpulan, Zaid bermusyawarah dengan para pemuka sahabat. Pertama kali kumpulan Al-Qur’an disimpan oleh Abu Bakar kemudian diteruskan penyimpanannya oleh Umar bin Khattab, kemudian diteruskan oleh Hafsah binti Umar. Dan pada 20 H, Khalifah Utsman bin Affan mengambil kumpulan naskah Al-Qur’an dari Hafsah binti Umar dan beliau menginstruksikan kepada Zaid untuk serta beberapa sahabat untuk menukil dan melengkapi naskah tersebut guna disebarkan kepada umat islam.
 Dengan demikian mudah bagi setiap muslim untuk kembali kepada Al-Qur’an dan tidak terjadi perselisihan perbedaan dialek bacaan. Zaid dan para sahabat menulis enam buah naskah, sebuah disimpan sendiri oleh khalifah Utsman. Sedangkan masing-masing dikirim ke Madinah, Kufah, Mekkah, Basrah dan Damaskus.
Sedangkan pembukuan hukum islam yang kedua yaitu As-Sunnah belum dibukukan pada masa ini, namun khalifah Umar bin Khattab telah memikirkan pembukuan As-Sunnah. Namun sesudah bertukar pikiran dan bermusyawarah dengan para sahabat, beliau khawatir terhadap pembukuan As-Sunnah, mengapa? Karena waktu itu hanya dikenal satu versi As-Sunnah dari ‘Abdullah ibn Amr ibn Al’Ash yang mempunyai lembaran bernama Al-Shadiq yang menghimpun hadits dari Rasulullah. Pengumpulan hadits dan rencana pembukuan Al-Qur’an dilakukan oleh para sahabat dengan sangat hati-hati dan selektif, terutama dari aspek perawinya. Abu bakar hanya menerima hadits yang diperkuat oleh saksi. Sedangkan umar bin khattab meminta si perawi mendatangkan bukti bahwa ia benar-benar telah meriwayatkannya, dan Ali bin Abi Thalib meminta agar si perawi hadits bersumpah. Namun demikian, sikap hati-hati ini belum dapat merealisasikan tujuan yang sebenarnya, yaitu pembukuan As-Sunnah dan hal ini mengakibatkan dua hal, yaitu:
a.  Para ulama’ terpaksa mencurahkan kesungguhan dalam membahas perawi hadits dan tingkatan kepercayaan mereka.
b.  Ketiadaan pembukuan As-Sunnah membawa akibat umat islam tidak memiliki satu koleksi As-Sunnah sebagaimana mereka memiliki koleksi Al-Qur’an. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan pendapat mengenai tentang hadits.
Sedangkan periode ijtidah para sahabat, belum ada pembukuan terhadap ijtidah mereka. Nilai fatwa para sahabat merupakan pendapat perseorangan, jika benar maka berasal dari Allah, tetapi jika keliru berasal dari sahabat itu sendiri. Para sahabat itu tidak mengharuskan siapa pun untuk mengikuti fatwanya. Para sahabat seringkali berbeda pendapat tentang berbagai kejadian dan rujukan hukumnya, yang terpenting maksud para sahabat adalah baik, yakni mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.[7]


BAB III
PENUTUP
       Kesimpulan
Sejarah penetapan hukum islam pada periode sahabat dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad wafat, yaitu tahun 11 Hijriyah. Dan berakhir ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai Khalifah pada tahun 41 Hijriyah. Periode ini merupakan awal sejarah penetapan hukum islam dalam arti fikih, sebab penetapan hukum pada periode ini merupakan hasil pemahaman terhadap Al-Qur’an dan hadits. Hukum dalam pengertian syariat telah berhenti bersamaan dengan Nabi Muhammad wafat. Periode ini disebut sebagai periode sahabat karena kekuasaan menetapkan hukum berada di tangan para sahabat.
Pada periode sahabat dalam penetapan hukum islam ini lahir syarat dan ketentuan siapa yang berhak menetapkan hukum dan memberi fatwa, antara lain:
a.     Sampai sejauh mana keahlian mereka dalam soal hukum.
b.      Berapa lama mereka bergaul dan dekat dengan Nabi Muhammad.
c.    Dan seberapa jauh pengetahuan mereka tentang Al-Qur’an (asbabun nuzul) maupun hadits.
d.      Di samping itu juga hafal Al-Qur’an dan hadits juga dipertimbangkan.
Pada masa sahabat, hukum Islam mengalami perkembangan sejalan dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan umat Islam. Oleh karena itu dalam memutuskan setiap perkara, para sahabat selalu berpedoman pada al-Quran dan Hadits sebagai sumber hukum Islam pertama. Namun bila tidak dijumpai dalam al-Quran dan hadits, para sahabat menggunakan ijtihad sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah.
Dengan adanya sejarah pembentukan hukum islam pada masa sahabat ini semoga bisa menjadikan kita lebih yakin dan selalu berpedoman pada sumebr hukum islam sebagai sumber pembuatan keputusan setiap persoalan kita agar kita bisa selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA

Rochman, M. Ibnu. Hukum Islam dalam Perspektif Filsafat. Philosophy Press. Yogyakarta : 2001.
Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta : 1995.
Khallaf, Abdul Wahab. Sejarah Hukum Islam. Penerbit Marja. Bandung : 2005.
Muh. Zuhri. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta : 1996.


[1] Dede Rosyada. Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 13.

[2] M. Ibnu Rochman. Hukum Islam dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta : Philosophy Press, 2001), hlm. 46.

[3] Abdul Wahhab Khallaf. Sejarah Hukum Islam, (Bandung : Penerbit Marja, 2005), hlm. 31.
[4] Abdul Wahhab Khallaf. Op. Cit, hlm. 35.
[5] M. Ibnu Rochman. Op. Cit, hlm. 47.
[6] Muh. Zuhri. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 45-48.

[7] Abdul Wahhab Khallaf. Op. Cit, hlm. 35-39.

TEORI KONSELING : PSIKOANALISA

1
COM

TEORI KONSELING : PSIKOANALISA
 






Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Bimbingan Konseling Islam
Dosen Pengampu: Imam Mujahid, M.Ag

Disusun Oleh:
Rizka Elfira               (26.08.31.143)
Sari Jumiyati
Wulan Yuliana          (26.08.31.175)




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2011


KATA PENGANTAR
 


Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga pemakalah dapat menyelesaikan penulisan makalah ini tepat waktu. Sholawat dan salam penyusun haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukan jalan yang gelap menuju jalan yang terang.
Pemakalah juga mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah Bimbingan Koseling Islam yang telah memberi bimbingan dengan penuh cinta dan kasih, dan juga  teman – teman seperjuangan, kelas VI F. pemakalah menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu pemakalah memohon ma’af serta saran dari bapak dosen dan teman-teman untuk memperbaiki dan menambah wawasan keilmuan kita. Semoga makalah ini bermanfaat. Amin.
Sukoharjo, 25 Maret 2011
Penyusun








BAB I
PENDAHULUAN
Di antara semua teori kepribadian yang ada, misalnya teori behavioral, teori kognitif, teori humanistik-eksistensial, terdapat nama Sigmud Freud (1856-1939) yang terutama dan para pengikutnya. Meskipun ada perbedaan di antara teoritikus Psikodinamik, semuanya memiliki beberapa pandangan yang sama, seperti pandangan determinisme psikis (pandangan bahwa tingkah laku manusia – normal dan abnormal – ditentukan oleh hasil dari proses dinamik dan konflik intrapsikis), motivasi tak sadar, dan pentingnya pengalaman masa kanak-kanak dalam membentuk kepribadian dan tingkah laku.
Dr. Freud adalah neurolog asal Austria dan pendiri aliran Psikoanalisis dalam bidang Psikologi. Psikoanalisis adalah gerakan yang mempopulerkan teori bahwa motif tidak sadar mengendalikan sebagian besar perilaku. Freud tertarik pada hipnotis dan penggunaannya untuk membantu penderita penyakit mental. Ia kemudian meninggalkan hipnotis untuk asosiasi bebas dan analisis mimpi guna mengembangkan sesuatu yang kini dikenal sebagai “obat dengan berbicara”. Hal-hal seperti ini menjadi unsur inti Psikoanalisis. Freud terutama tertarik pada kondisi yang dulu disebut “histeria” dan sekarang disebut “sindrom konversi”.







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Psikoanalisis adalah sebuah model perkembangan kepribadian, filsafat tentang sifat manusia dan metode psikoterapi. Secara historis psikoanalisis adalah aliran pertama dari tiga aliran utama psikologi. Yang kedua adalah behaviorisme, sedangkan yang ketiga adalah psikologi eksistensisal-humanistic.[1]
Psikoanalisis merupakan cabang ilmu yang dikembangkan oleh Sigmund Freud dan para pengikutnya, sebagai studi fungsi dan perilaku psikologis manusia. Sigmund Freud sendiri dilahirkan di Moravia pada tanggal 6 Mei 1856 dan meninggal di London pada tanggal 23 September 1939.
Pada mulanya istilah psikoanalisis hanya dipergunakan dalam hubungan dengan Freud saja, sehingga “psikoanalisis” dan “psikoanalisis” Freud sama artinya. Bila beberapa pengikut Freud dikemudian hari menyimpang dari ajarannya dan menempuh jalan sendiri-sendiri, mereka juga meninggalkan istilah psikoanalisis dan memilih suatu nama baru untuk menunjukan ajaran mereka. Contoh yang terkenal adalah Carl Gustav Jung dan Alfred Adler, yang menciptakan nama “psikologi analitis” (en: Analitycal psychology) dan “psikologi individual” (en: Individual psychology) bagi ajaran masing-masing.
Teori Psikoanalisa memandang perkembangan dibentuk oleh kekuatan bawah sadar yang memotivasi perilaku manusia. Atau perspektifnya yaitu pandangan bahwa perkembangan dibentuk oleh kekuatan kesadaran. Psikoanalisis ditandai untuk metode penafsiran, bahwa pencarian makna yang tersembunyi dari apa yang nyata melalui tindakan dan pembicaraan atau imajiner produksi, seperti mimpi, deliriums, asosiasi bebas. Perilaku dan proses mental manusia dimotivasi oleh kekuatan-kekuatan dan konflik-konflik dari dalam manusia memiliki sedikit kesadaran dan perilaku manusia menjadi lebih rasional-bisa kontrol atas kekuatan tersebut diterima secara sosial.[2]
B.     Tujuan dan Proses Konseling Psikoanalitik
Tujuannya adalah membentuk kembali struktur karakter individu dengan membuat yang tidak sadar menjadi sadar dalam diri klien.
Proses konseling[3] yaitu:
a.       Proses konseling dipusatkan pada usaha menghayati kembali pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak. Pengalaman masa lampau ditata, didiskusikan, dianalisa dan ditafsirkan dengan tujuan untuk merekonstruksi kepribadian.
b.      Konseling analitik menekankan dimensi afektif dalam membuat pemahaman ketidak sadaran.
c.       Pemahaman intelektual sangat penting, tetapi yang lebih adalah mengasosiasikan antara perasaan dan ingatan dengan pemahaman diri.
d.      Satu karakteristik konseling psikonalisa adalah bahwa terapi atau analisis bersikap anonim (tak dikenal) dan bertindak sangat sedikit menunjukkan perasaan dan pengalamannya, sehingga dengan demikian klien akan memantulkan perasaannya kepada konselor. Proyeksi klien merupakan bahan terapi yang ditafsirkan dan dianalisia.
e.       Konselor harus membangun hunbungan kerja sama dengan klien kemudian melakukan serangkaian kegiatan mendengarkan dan menafsirkan.
f.       Menata proses terapeutik yang demikian dalam konteks pemahaman struktur kepribadian dan psikodinamika memungkinkan konselor merumuskan masalah klien secara sesungguhnya. Konselor mengajari klien memaknai proses ini sehingga klien memperoleh tilikan mengenai masalahnya.
g.      Klien harus menyanggupi dirinya sendiri untuk melakukan proses terapi dalam jangka panjang. Setiap pertemuan biasa berlangsung satu jam.
h.      Setelah beberapa kali pertemuan kemudian klien melakukan kegiatan asosiasi bebas. Yaitu klien mengatakan apa saja yang terlintas dalam pikirannya
Teori ini lebih mengedepankan agar seorang konselor mampu menggali pengalaman-pengalaman yang terjadi pada seoang klient sehingga dapat merekonstruksi kepribadian konseli tersebut.
C.    Konsep Pokok
Psikoanalisa merupakan suatu metode penyembuhan yang lebih bersifat Psikologis dengan cara-cara fisik[4]. Pada mulanya Freud mengembangkan teorinya tentang struktur kepribadian dan sebab-sebab gangguan Jiwa. Konsep Freud yang anti rasionalisme menekankan motivasi tidak sadar, konflik dan simbolisme sebagai konsep primer. Teori Kepribadian menurut Freud, menyangkut tiga hal yakni;
1.      Struktur Kepribadian
Menurut beliau, Kepribadian terdiri dari tiga system,yakni:
a.       Id adalah aspek biologis yang merupakan system kepribadian yang asli.
Kepribadian setiap orang hanya terdiri dari id ketika dilahirkan. Id bersifat tidak logis, amoral dan didorong oleh satu kepentingan: memuaskan kebutuhan-kebutuhan naluriah sesuai dengan atas kesenangan. Id tidak pernah matang dan selalu menjadi anak manja dari kepribadian, tidak berfikir dan hanya menginginkan atau bertindak. Id bersifat tak sadar.
b.      Ego adalah aspek Psikologi yang timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan dengan dunia nyata.
Ego merupakan eksekutif dari kepribadian yang memerintah, mengendalikan dan mengatur. Sebagai “polisi lalu lintas” bagi id, superego dan dunia eksternal, tugas utama ego adalah mengantarai naluri-naluri dengan lingkungan sekitar. Ego mengendalikan kesadaran dan melakukan sensor. Hubungan ego dan id adalah ego merupakan temapt semayam intelegenssi dan rasionalitas yang mengawasi dan mengendalikan implus-implus buta dari id.
Ego adalah tempat bersemayam intelegensi dan rasionalitas yang mengawasi dan mengendalikan implus-implus buta dari id. Sementara id nya hanya mengenal kenyataan subyektif, ego membedakan bayangan-bayangan mental dengan hal-hal yang terdapat di dunia eksternan.
c.       Super Ego ( aspek sosiologis yang mencerminkan nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat yang ada dalam kepribadian individu)
Superego mempresentasikan hal yang idela alih-alih hal yang riel, dan mendorong bukan kepada kesenangan, melainkan kepada kesempurnaan. Superego mempresentasikan nilai-nilai tradisional dan ideal-ideal masyarakat yang diajarkan oleh orang tua kepada anak . superego berfungsi menghambat implus-implus id. Kemudian sebagai internalisansi standar-standar orangtua dan masyarakat.
2.      Dinamika Kepribadian
Dinamika Kepribadian terdiri dari cara bagaimana energi psikis itu didistribusikan serta digunakan oleh Id,ego,dan super ego.
3.      Perkembangan kepribadian
Kepribadian berkembang sehubungan dengan empat macam pokok sebagai sumber ketegangan, yaitu;
a.       Proses pertumbuhan fisiologis (kedewasaan)
b.      Frustasi
c.       Konflik, dan
d.      Ancaman.

D.    Psikoanalisis memiliki tiga penerapan:
1.      Suatu metode penelitian dari pikiran;
2.      Suatu ilmu pengetahuan sistematis mengenai perilaku manusia; dan
3.      Suatu metode perlakuan terhadap penyakit psikologis atau emosional.
Dalam cakupan yang luas dari psikoanalisis ada setidaknya 20 orientasi teoretis yang mendasari teori tentang pemahaman aktivitas mental manusia dan perkembangan manusia. Berbagai pendekatan dalam perlakuan yang disebut “psikoanalitis” berbeda-beda sebagaimana berbagai teori yang juga beragam. Psikoanalisis Freudian, baik teori maupun terapi berdasarkan ide-ide Freud telah menjadi basis bagi terapi-terapi moderen dan menjadi salah satu aliran terbesar dalam psikologi..
E.     Sumbangan-sumbangan utama yang bersejarah dari teori dan praktek Psikoanalitik mencakup:
1.      Kehidupan mental individu menjadi bisa dipahami dan pemahaman terhadap sifat manusia bisa diterapkan pada peredaan penderitaan manusia
2.      Tingkah laku diketahui sering ditentukan oleh faktor-faktor tak sadar
3.      Perkembangan pada masa dini kanak-kanak memiliki pengaruh yang kuat terhadap kepribadian di masa dewasa.
4.      Psikoanalitik menyediakan kerangka kerja yang berharga untuk memahami cara-cara yang digunakan oleh individu dalam mengatasi kecemasan dengan mengandaikan adanya mekanisme-mekanisme yang bekerja untuk memnghindari luapan kecemasan.
5.      Pendekatan psikoanalitik telah memberikan cara-cara mencari keterangan dari ketaksadaran melalui analisis atas mimpi-mimpi, resistensi-resistensi dan transferensi-transferensi
F.     Gangguan Jiwa
Psikoanalisa membedakan dua macam gangguan jiwa yaitu Psikoneurose, dan Psikose. Psikoneurose disebabkan oleh kegagalan ego untuk mengontrol dorongan id, karena ego tidak berhasil memperoleh kesepakatan. Neurose dikelompokkan menjadi tiga,yaitu; (1) histeri; (2) Psikastenia ; (3) reaksi Kecemasan.
Psikose digolongkan menjadi dua macam yaitu Psikose Fungsional, dan Psikose organic. Psikose Fungsional terdiri dari tiga jenis, yaitu; (1) manic-depressive; (2) paranoia; (3) schezophenia. Psikose Organik terdiri atas (1) involutional melancholia; (2) senile and alcoholic psychoses; (3) general parasis.
G.    Teknik-teknik Terapi
Teknik-teknik terapi dalam psikoanalisa digunakan untuk meningkatkan kesadaran mendapatkan tilikan intelektual ke dalam perilaku Klien, dan memahami makna gejala-gejala yang nampak, ada lima teknik dasar dalam terapi Psikoanalisa, yaitu[5];
1.      Asosiasi bebas,
2.      Interpretasi,
3.      Analisis mimpi,
4.      Analisis Resistensi,
5.      Analisis transferensi (pemindahan).
H.    Kritik dan Kontribusi
Beberapa Kritik terhadap psikoanalisa antara lain;
1.      Pandangan yang terlalu deterministic dinilai terlalu merendahkan martabat kemanusiaan.
2.      Terlalu banyak menekankan kepada pengalaman masa kanak-kanak, dan menganggap kehidupan seolah-olah sepenuhnya ditentukan masa lalu.
3.      Terlalu meminimalkan rasionalitas
4.      Penyembuhan dalam psikoanalisa terlalu bersifat rasional dalam pendek atannya.
5.      Data penelitian empiris kurang banyak mendukung system psikoanalisa.
Sedangkan kontribusi yang diberikan antara lain;
1.      Adanya motivasi yang tidak selamanya disadari
2.      Teori kepribadian dan teknik psikoterapi
3.      Pentingnya masa kanak-kanak dalam perkembangan kepribadian.
4.      Model penggunaan wawancara sebagai alat terapi
5.      Pentingnya sikap non-moral pada terapis
6.      Adanya persesuaian antara teori dan teknik.
PENUTUP
Teori “Psikoanalisis Freud” memusatkan perhatian pada pentingnya pengalaman masa kanak-kanak awal. Dalam pandangan ini, benih-benih dari gangguan psikologis sudah ditanamkan pada tahun-tahun awal pertumbuhan. Pandangan Freud tentang seksualitas masa kanak-kanak benar-benar jelas dan kontroversial.
Freud juga mengemukakan tiga struktur mental atau psikis, yakni Id, Ego, dan Superego. Satu-satunya struktur mental yang ada sejak lahir adalah id, yang merupakan dorongan biologis dan berada dalam ketidaksadaran. Id beroperasi menurut prinsip kenikmatan (pleasure principle) dan mencari kepuasan segera. Ego adalah pikiran yang beroperasi menurut prinsip kenyataan (reality principle) yang memuaskan dorongan id menurut cara-cara yang dapat diterima masyarakat. Adapun superego, yang terbentuk melalui proses identifikasi dalam pertengahan masa kanak-kanak, merupakan bagian dari nilai-nilai moral dan beroperasi menurut prinsip moral.
Mekanisme pertahanan seprti represi, melindungi ego dari kecemasan dan mengeluarkan dorongan yang tidak dapat diterima dari kesadaran. Meskipun menggunakan mekanisme pertahanan adalah normal, namun bila digunakan secara berlebihan dapat menyebabkan pola tingkah laku abnormal.
Berdasarkan kajian Freud, ada garis tipis perbedaan antara yang normal dan abnormal (dalam hal derajat). Orang normal dan abnormal didorong oleh dorongan irasional dari id. Normalitas hanya merupakan masalah keseimbangan energi antara struktur psikis dari id, ego, dan superego.
Freud berpendapat bahwa manusia dapat menjadi neurotik – bahkan psikotik - struktur mental menjadi tidak seimbang. Pada orang-orang normal, ego memiliki kekuatan untuk mengontrol insting dari id dan untuk menahan hukuman dari superego
DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerald. 2009. Theory and practice of counseling and psycoterapy. (penerjemah: E. Koswara). :PT. Refika aditama
http://www.zonependidikan.co.cc/2010/05/konseling-psikoanalisa.html


[1] Gerald Corey. Theory and practice of counseling and psycoterapy. Diterjemahkan oleh E. Koswara. (Cet ke 4; PT. Refika aditama:2009). Hal. 13
[2] http://yusti23.blogspot.com/2009/10/teori-psikoanalisa-dan-teori.html
[3] http://www.zonependidikan.co.cc/2010/05/konseling-psikoanalisa.html
[4] http://curhatpendidikan.blogspot.com/2008/07/teori-konseling-psikoanalisa.html
[5] http://curhatpendidikan.blogspot.com/2008/07/teori-konseling-psikoanalisa.html